Rabu, 11 Februari 2009

PROSES AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat, nenek moyang kita dahulu sudah menganut ajaran yang dinamakan animisme dan dinamisme. Selanjutnya masuklah agama Hindu yang membawa ajaran kasta-kasta, disusul kemudian agama Budha yang masuk di Indonesia dengan berdirinya kerajaan Majapahit dengan patihnya Gajah Mada yang ingin memersatukan Nusantara. Setelah kekuasaan Majapahit berakhir, masuklah ajaran Islam yang dibawa oleh pedagang dari Gujarat pada Abad 1 H.
Dari kesemuanya itu akan menimbulkan akulturasi (perpaduan/pencampuran) kebudayaan yang selajutnya oleh penulis disebut akulturasi kebudayaan Islam. Karena, mayoritas penduduk Indonesia saat ini memeluk agama Islam dan menyusul kemudian agama Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain. Proses akulturasi kebudayaan yang berlangsung berabad-abad, membentuk jati diri Indonesia yang sebenarnya. Negara Indonesia yang bersemboyankan “Bhineka Tunggal Ika’, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Berbeda-beda agama, suku, adat, ras, dan kepercayaan tetapi tetap bersatu di bawah naungan negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses akulturasi kebudayaan Islam di Indonesia?
2. Apa saja hasil akulturasi kebudayaan Islam di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsian proses akulturasi Islam di Indonesia.
2. Uutuk menjelaskan hasil akulturasi kebudayaan Islam di Indonesia.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia
Setiap negara pasti mengalami evolusi kebudayaan. Pada dasarnya evolusi kebudayaan merupakan proses perubahan kebudayaan yang berlansung relatif lama dengan perubahan yang bersifat menyempurnakan dari waktu ke waktu. Proses perubahan yang demikian merupakan suatu bentuk penyesuaian terhadap perubahan-perubahan alam agar manusia dapat bertahan hidup sesuai dengan keinginannya. Menurut bentuknya perubahan, kita mengenal 4 macam perubahan kebudayaan yang salah satunya adalah akulturasi kebudayaan.
Akulturasi kebudayaan merupakan proses bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang ditandai dengan suatu bentuk penyesuaian yang saling melengkapi. Proses akulturasi kebudayaan seringkali terjadi dari masyarakat yang mempunyai peradaban maju menuju masyarakat yang mempunyai peradaban yang sedang berkembang. Ciri-ciri akulturasi kebudayaan antara lain :
1. Proses pencampurannya bersifat melengkapi.
2. Masih tampak unsur-unsur kebudayaan lokal yang dicampuri dan tampak pula unsur-unsur kebudayaan asing yang mencampuri.
Banyak buku literatur sejarah yang mengungkapkan nenek moyang Indonesia. Kita wajib mengetahui asal-usul nenek moyang kita karena dari situlah akulturasi kebudayaan Negara Indonesia berawal. Di sekitar tahun 1939-1941 ahli-ahli penyelidik telah menemui di Mojokerto sebuah fosil termasuk rahang dan beberapa buah gigi dan tulang paha manusia, yang menurut teori penyelidikan tua adalah termasuk manusia purbakala yang hidup di Tanah Jawa pada masa kira-kira 500.000 tahun sebelum tarikh nabi Isa. Dalam ilmu purbakala, zaman itu dinamai zaman kwartair (zaman keempat). Pada masa itu manusia belumlah sempurna kemanusiaannya, masih dekat lagi dengan kehidupan binatang, belumlah mengenal apa yang dinamakan kebudayaan. Fosil (tengkorak yang telah membatu) itu pernah pula didapati orang dekat Solo (di dekat Trindil).
Kalau penyelidikan ini kita sangkut pautkan dengan dongeng orang tua-tua, teringatlah kita kepada kepercayaan mereka bahwa di zaman purbakala ada raksasa yang besar-besar yang hidupnyapun berbeda dengan hidup manusia. Dan menguntungkan juga bagi kita sebab ilmu penyelidikan atas pertumbuhan hidup manusia itu sudah terpisah jauh daripada ilmu sejarah dan telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, dinamai antropologi.
Menurut penyelidikan ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi), adapun bangsa yang pada masa sekarang ini yang kita namai bangsa Indonesia, termasuk dalam rumpun bangsa Austronesia. Asal usul keturunannya ialah dari daerah yang dinamai oleh penulis sejarah Eropa, Hindia “Belakang” sebagai timbalan dari hindia “Muka”, yaitu India sekarang ini. Yang mereka namai Hindia Belakang itu ialah daerah yang melingkungi Thailand (Siam), Burma, Kamboja dan Laos (Indo Cina) sekarang ini, termasuk daerah Khmer di uluan, dan di hulunya lagi ialah Tonkin. Mereka berpindah berboyong sekelompok demi sekelompok, mengalirb ke bawah melalui Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Sumatra, jawa dan pulau-pulau besar itu yang dinamai “Nusantara” (Nusa = pulau) dan (Tara = Antara). Terletak diantara dua benua, yaitu Australia dan Asia atau menurut cara berfikir di zaman itu, terletak diantara Benua Cina dan Benua india.
Di zaman purbakala sebagaimana bangsa-bangsa purbakala yang lain, mereka belumlah menganut suatu agama yang tertentu, tetapi di dalam jiwa mereka telah ada persediaan buat menerima agama. Di dalam jiwa mereka sudah mulai tunbuh kepercayaan. Ada dua hal yang menyebabkan tunbuhnya kepercayaan itu. Pertama alam sekelilng. Kedua soal hidup dan mati!
Manusia itu hidup di antara alam. Air yang mengalir dari hulu ke hilir membawa banjir dan banjir meninggalkan bunga tanah da bunga tanah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Diantaranya mereka mendapat padi. Hujan yang turun dari langitpun menambah suburnya padi itu. Bintang-bintang di langit yang bergeleran kelihatan diantara 12 bulan dalam satahunpun menentukan pembagian musim hujan dan musim kemarau. Semuanya itu berpengaruh kepada nereka di dalam hidupnya, sehingga mereka percaya bahwa ada hubungan mereka dengan seluruhnya itu. Niscaya semuanya itu ada angker dan tuahnya. Akhirnya, dilakukan terhadap pemujaan padi. Dia dinamai Dewu Sri atau Sang Hyang Sri. Di waktu siang terbukalah jalan berusaha mencari makan dan di waktu malam timbullah rasa takut. Maka timbullah kepercayaan bahwa di samping Dewi Sri, mataharipun ada hubunganya dengan keselamatan manusia. Demikian sehingga jelas sekali pertumbuhan kepercayaan itu kepada segenap yang ada., mulai dari sungai yang mengalir, pohin beringin, patung, batu, gunung-gunung, dan sebagainya.
Kepercayaan itu dinamakan Animisme. Kata Animisme berasal dari kata anima, animae; dari bahasa latin animus, dan Bahasa Yunani Avepos, dalam bahasa Sanskerta disebut prana, dalama bahasa brani disenut ruah, yang artinya napas atau jiwa. Ia, adalah ajaran atau doktrin tentang realitas jiwa. Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Keyakinan ini banyak dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama wahyu.
Paham animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia, atau bahkan membantu mereka dalam kehidupan ini.
Banyak kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat. Seperti, kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang sering keluar masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang meninggal dalam keadaan melahirkan. Atau, keyakinan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa masuk kedalam jasad binatang lain, seperti babi hutan dan harimau. Biasanya, roh tersebut akan membalas dendam terhadap orang yang pernah menyakitinya ketika hidup.
Kadang-kadang setelah seorang nenek mati, beberapa hari kemudian kedengaranlah suara harimau di dekat rumah itu tengah malam. ,akan timbullah kepercayaan bahwa nenek itu telah “jadi-jadian”. Maka di beberapa tempat di Indonesia masih ada sisa kepercayaan kepada harimau jadi-jadian, babi, buaya atau ikan. Hubungan dengan segala jadi-jadian inipun terpegang dengan dukun atau datu.
Kepercayaan ini dinamakan Dinamisme. Kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam bahasa Inggris berarti dynamic dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan arti kekuatan, daya, atau kekuasaan. Definisi dari dinamisme memiliki arti tentang kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib.
Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan.
Maksud dari arti tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya. Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang, atau bahkan manusia sendiri.
Dinamisme lahir dari rasa kebergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar dirinya. Setiap manusia akan selalu merasa butuh dan harap kepada zat lain yang dianggapnya mampu memberikan pertolongan dengan kekuatan yang dimilikinya. Manusia tersebut mencari zat lain yang akan ia sembah yang dengannya ia merasa tenang jika ia selalu berada di samping zat itu.
Sebagai contoh, ketika manusia mendapatkan bahwa api memiliki daya panas, maka ia akan menduga bahwa apilah yang paling berhak ia sembah karena api telah memberikan pertolongan kepada mereka ketika mereka merasa dingin. Ia mengira bahwa api memiliki kekuatan misteri yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia sehingga ia akan menyembahnya.
Atau contoh lainnya, seperti penyembahan masyarakat Jepang terhadap matahari. Mereka sangat mengagungkan dan menghormati matahari karena mereka percaya bahwa matahari-lah yang pantas disembah disebabkan kekuatan sinarnya yang memancar ke seluruh dunia.
Karena sebab itulah, mereka menyembah sesuatu selain Allah. Mereka menyembah Allah karena mereka bodoh dan jahil dalam mengenal Tuhan.
Oleh karena itu, beberapa orang ahli tidaklah menyukai mengatur mana yang lebih dulu tumbuhnya antara dinamisme (segala sesuatu ada semangatnya), animisme (percaya akan arwah nenek moyang), atau totenisme (percaya akan hubungan antara manusia dengan nenek moyang binatang).
Setelah selama bertahun-tahun nenek moyang Indonesia memeluk ajaran animisme dan dinamisme, datanglah agama Hindu sebagai agama pembuka di Indonesia. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Kedua tokoh besar ini mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat banyak berupa sisa- sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman di Jawa Barat.
Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja-rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya.
Kitab suci agama Hindu adalah kitab weda, dan agama hindu sangat meningikan ajaran kastanya. Golongan-golongan kasta yang utama adalah brahmana (pendeta), ksatrya (balatentara), waisya (buruh), sudra (hamba sahaya).
Seorang anak Hindu telah paham akan peraturan-peraturan di dalam hinduisme dari pada seorang anak di dalam agama-agama lain. Hal ini disebabkan karena hidup eorang Hindu itu telah terjalin di dalam agamanya. Hidupnya tidak dapat dipisah-pisahkan dari paham hindu itu. Seorang anak Hindu dengan sendirinya mempelajari dewa-dewanya. Ajaran hindu yang terkenal adalah mengenai qurban dan sesajen. Menurut bentuknya, lamanya, dan harganya qurban dan sesajen di bagi menjadi 2 macam, yaitu : yayna besar dan yayna kecil.
Agama Budha di dunia lahir dan berkembang pada abad ke-6 Masehi. Agama itu beroleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula, Sidharta Gautama (563-483 sM), yang dipanggil dengan Budha. Panggilan itu berasal dari akarkata bodhi (nikmat), yang di dalam deklensi (tashrif) selanjutnya menjadi buddhi (nurani) dan menjadi Buddha (yang beroleh Nur). Tersebab itulah sebutan Budha itu pada masa selanjutnya beroleh berbagai pengertian semacam berikut : yang sadar (awakened One), dan yang cemerlang (Illumined One), dan yang beroleh Terang (Englightened One).
Pangilan itu diperoleh Siddharta Gautama sesudah menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkhalwat, menegembara untuk menemukan kebenaran, dekat tujuh tahun lamanya, dan di bawah sebuah pohon yang sampai saat ini dipanggil Pohon Nikmat (Three of Bodhi). Kitab suci agama Budha disebut Tripitaka, tri itu bermakna tiga, dan pitaka atu bermakna bakul.
Agama Budha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit. Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.
         Sekitar tahun 423 M  Bhiksu Gunawarman datang ke negri Cho-Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia memperoleh perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya menyebar luaskan ajaran Buddha berjalan lancar. semua ini tercatat di dalambuku Gunawarman dan jika di dasarkan pada buku ini maka kemungkinan besar ia adalah seorang perintis pengembangan agama Budha di Indonesia pada zaman tersebut.
Pada abad ke 7 M, agama Budha Mahayana masuk ke Sriwijaya, kemudian abad 8 M masuk ke pulau Jawa, yang menyebabkan timbulnya candi-candi complex Borobudur, kalasan dan candi sewu. Candi-candi itu memang bentuknya tidak sama dengan bangunan-bangunan di tempat asal Budha. Akhirnya, agama Budha dipersatukan dengan agama Ciwaisme, juga dengan kepercayaan asli orang Indonesia, hingga timbul seorang dewa yang bernama Ciwa Budha. Dan akhirnya sekarang sedikit sekali orang yang beragama Budha.
Setelah agama Budha mengalami kemunduran, maka masuklah agama Islam ke Indonesia. Ada beberapa teori mengenai masuknya Islam di Indonesia. Di antaranya teori arab dan teori gujarat. Teori arab mengungkapkan Islam masuk di Indonesia pada abad ke-1 H dan agama Islam yang ada di Indonesia langsung dari arab, sedangkan teori gujarat mengungkapkan Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 H dengan merujuk berdirinya kerajaan samudra pasai.
Secara etimologis, kata Islam berasal dari akar kata salaam yang berarti perdamaian, sedangkan makna sekundernya bisaberarti penyerahan diri. Oeh karena itu, kata Islam mengindikasikan sebuah pesan bahwa perdamaian akan lahir ketika seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Kata salam dengan makna perdamaian ini secara konstan disebut berulang-ulang di dalam Al-Qur’an dalam semua bentuk derivasinya dan secara tegas mengindikasikan bahwa Islam adalah agama yang membawa misi perdamaian.
Penerimaan Islam di berbagai wilayah Nusantara hampir mengikuti pola yang sama, yaitu pada awalnya Islam diterima oleh masyarakat pesisir pantai. Selanjutnya perkampungan-perkampungan Muslim di daerah pelabuhan dagang mengembangkan wilayah-wilayah kekuasaannya melalui cara-cara yang sanagt adaptif, antara lain dengan mengadopsi dan mempertahankan adat-istiadat penduduk setempat, meguasahi bahasa masyarakat setempat , menikahi wanita-wanita setempat, membebaskan budak-budak belian, dll. Dengan cara seperti ini, tidaklah mengherankan apabila agama Islam pada umumnya menembus wilayah pedalaman dfengan cara-cara damai. Dari dasar itulah, mengapa sampai saat ini Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Karena proses kedatangannya yang begitu damai dan tidak memaksa.
Selain proses masuknya yang damai, tentu saja ada faktor lain yang tidak kalah penting yang memungkinkan Islam cepat berkembang. Yaitu, mundurnya perkembangan agama Hindu dan Budha, dua agama yang terlebih dulu hadir dan telah membangun peradaban tinggi.
Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama Budha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak meluas ke tengah masyarakat. Sebab, pendidikan diperuntukkan untuk hanya untuk kaum bangsawan. Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam sejak awal dibuka untuk sewgenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagipula Islam adalah agama kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang.
Islam berakulturasi dengan budaya lain di Indonesia dengan cara yang menarik dan berlangsung secara damai. Walaupun banyak budaya-budaya Indonesia pra-islam yang berlainan dengan inti ajaran Islam, namun agama Islam tidak langsung memaksakannya dan mengganti semuanya dengan inti ajaran Islam yang murni. Namun, Islam mampu berakulturasi dengan kebudayaan Indonesia dan mampu menjadi sebuah ajaran yang sejalan dengan adat Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan akulturasi kebudayaan Islam berkembang pesat di Indonesia. Yaitu : 1. Mundurnya perkembangan agama Hindu dan Budha 2. Islam masuk di Indonesia secara damai dan tidak memaksa 3. Islam adalah agama yang egaliter dan populis

B. Hasil Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia
Sebelum Islam datang di Indonesia, banyak ajaran-ajaran pra-Islam yang berkembang di Indonesia (animisme, dinamisme, Hindu, Budha). Sehingga, menghasilkan akulturasi kebudayaan yang komplek. Hasil akulturasi kebudayaan itu adalah :

No Item Sebelum islam Islam Hasil
1 Bahasa a. Dewa (Bahasa Sanskerta)
b. Suarga (Bahasa Sanskerta)
c. Hyang (sang pencipta) a. Tuhan / Allah

b. Jannat / Syurga

c. Shalat a. Tuhan

b. Surga

c. Sembahyang
2 Adat
a. upacara / ritual




b. penghormatan khusus terhadap roh nenek moyang
c. sihir dan perdukunan

a. Kelahiran bayi





b. adanya sesajen / sesembahan untuk roh-roh nenek moyang.


c. dukun / paranormal
a. Dzikir





b. ziarah kubur





c. Kyai
a. Ritual kelahiran bayi dan ditambah dzikir dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur.
b. ziarah kubur dengan tanpa melupakan sesajen berupa tabur bunga tujuh rupa.

c. praktik-praktik spiritual yang dilakukan oleh orang-orang yang bertitel ’kyai’
3 Arsitektur / bangunan


Candi
a. Atap yang berlapis atau “meru” dengan 9 susun


b. stupa
c. kalamakara.
d. ukiran-ukiran pola teratai, mastaka, memolo

Makam memakai pintu gerbang yang berbentuk candi bentar, kori agung. Dan nisan yang berbahasa sanskerta. Masjid
a. Atap yang berlapis dengan 3 susun (yang melambangkan iman, islam dan ihsan.
b. kubah
c. mihrob
d. mimbar yang berukir.


Makam memakai nisan dan si mayat di kubur di tanah.

mesjid-mesjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, mesjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, dan di daerah-daerah lain.


nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten
4 Kesenian a. wayang kulit dengan tokoh cerita masa lalu dan seperangkat seni gamelan
a. dakwah dan shalawat. a. wayang kulit dengan cerita para wali dan shalawat modern yang menggunakan gamelan dan banjari.
5 Mitos Orang yang meninggal masih gentayangan. Percaya dengan hal-hal yang ghoib Mitos adanya pocongan, genderuwo, dll.














BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan :
1. Proses akulturasi kebudayaan Islam di Indonesia berjalan dengan damai, meskipun banyak ajaran pra-Islam yang berlainan dengan inti ajaran Islam namun agama Islam mampu menyesuaikan dan berakulturasi dengan budaya Indonesia.
2. Hasil akulturasi kebudayaan Islam terjadi di beberapa hal, yaitu : Bahasa, Adat, Arsitektur / bangunan, Kesenian, dan Mitos.























DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Hasan. Islam dan Perdamaian Global. Yogyakarta : Madyan Press. 2002.
Hamka. Sejarah Umat islam. .Jakarta : N. V. Bulan Bintang. 1981.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaw. Menjadi Indonesia 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Jakarta : Mizan. 2006.

Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Ummat Islam bagian kesatu & dua. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999.
Rifai, Moh. Perbandingan Agama. Semarang : Wicaksana, 1983.
Santoso, P. Mardi dan A. M. Nurchajatie. Sosiologi Kelas XI. Jakarta : literatur media sukses. 2005.
Sou’yb, Joesoef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta : Mutiara. 1983.
Tim penyusun proyek pembinaan perguruan tinggi agama Islam. Perbandingan Agama I. C.V. Arta Dimita. 1983.

Tjandrasasmita, Uka. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka. 1984.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2003.
www.wikipedia.com, diakses 03 Desember 2008

Minggu, 14 September 2008

Metode Ilmiah

A. Pengertian Metode Ilmiah
Metode secara etimologis berasal dari kata yunani “meta” yang berarti sesudah dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah-langkah yang di ambil menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetyahuan yang benar ,yaitu suatu tatacara,tehnik atau jalan yang telah dirancang dan di pakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic dan histories, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.(Sri Soeprapto,2003)
Menurut Almack(1939),metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan menurut Burhanuddin Salam(1997) metode ilmiah merupakan cara dalam mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dengan mempergunakan metodde ilmiah dapat digolongkan kepada pengetahuan yang bersifat ilmiah,disingkat pengetahuan ilmiah.
Metode ilmiah dalam prosesnya untuk menemukan pengetahuan yang dipercaya terdiri atas beberapa langkah tertentu yang semuanya kait-mengkait satu sama lainnya secar dinamis. Seorang ilmuwan harus mengenal langkah-langkah ini dengan seksama, agar bisa sampai pada kesimpulan yang benar. (Burhanuddin Salam, 1997).
Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut,untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan.Tanpa metode ilmiah,suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu,tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lainnya.1
Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata, maka ilmu mencari jawabannya pada dunia nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Esensi menyatakan, apapun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang di maksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekakan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan. Pengetahuan yang secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak fakta. Dengan sederhana, maka hal itu berarti bahwa untuk semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat, yaitu :
1.Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
2.Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat iterima kebenarannya secara ilmiah.

Dengan demikian logika ilmiah merupakan gabungan antara logika dedukatif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah system dengan mekanisme korektif.
Metode ilmiah merupakan cara atau prosedur yang digunakan dalam kegiatan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah atau ilmu. Metode ilmiah sekurang-kurangnya ada dalam lima langkah yang dapat dikatakan sebagai pola umum, yaitu :
1.Penerapan/perumusan masalah. Merupakan pernyataan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diindentifikasikan factor-factor yang terkait didalamnya.
2.Perumusan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentku konstelasi permasalahan.
3.Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesipulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperhatikan apakah terdapat fakta-fakta mendukung atau tidak.
5.Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima.2

Keseluruhan langkah diatas harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Walaupun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, dimana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah berikutnya, namun dalam praktek sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara stabil melainkan dinamis dengan pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.
Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini dapat dipakai dengan melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah berlangsung dari abad ke abad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, dapat difahami bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain juga bersangkutan dengan metode ilmiah yang digunakan. Ilmu-ilmu terutama berbeda sama lain, karena digunakannya metode-metode yang sangat berkelainan untuk menyelediki, melukiskan dan mengerti realitas. (Van Melsen, 1986).
Bidang keilmuan terutama metodologinya secara langsung menyangkut obyeknya. Dan dibedakan secara jelas antara Naturwissenschften dan Geisteswissenschaften. Sedangkan Geisteswissenschaften adalah ilmu-ilmu budaya atau ilmu-ilmu yang objeknya hasil atau ekspresi roh manusia. (Sri Soeprapto, 2003).
Sifat-sifat objek yang berbeda dari kedua tipe ilmu pengetahuan diatas membawa konsekwensi logis pada adanya perbedaan yang mendasar dibidang metodologi bagi masing-masing ilmu pengetahuan tersebut, seperti ilmu-ilmu kealaman biasanya disebut siklus-empirik. Istilak siklus-empirik ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara inderawi. Metode siklus empirik ini mencakup lima tahapan yaitu, observasi, induksi, deduksi, eksperimen dan evaluasi. Sedangkan ilmu-ilmu sosial pada umumnya menggunakan metodologi yang disebut metode linier. Metode linier memilki beberapa tahap yaitu persepsi, konsepsi dan perediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indera. Konsepsi adalah pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu sistem. Prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus peramalan. (Sri Soeprapto, 2003).
Skema 1
Langkah-langkah dalam Metode Ilmiah menurut Jujun S

B. KRITERIA METODE ILMIAH
Upaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut :
1.Berdasarkan Fakta
Keterangan-keterangan yan ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang dianalisis haruslah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Janganlah penemuan atau pembuktian didasarkan pada daya khayal, kira-kira, legenda-legenda, atau kegiatan sejenisnya.
2.Bebas dari Prasangka (bias)
Metode ilmiah harus mempunyai sifat bebas prsangka, bersih yang jauh dari pertimbangan subjektif. Mengggunakan suatu fakta haruslah dengan alas an dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian yang objektif.
3.Menggunakan prinsip-prinsip analisis
Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang kompleks, harus digunakan prinsip analisis. Semua masalah harus dicari sebab musabab serta pemecahannya denga menggunakan analisis yang logis. Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanay atau hanya dibuat deskripsinya saja, akan tetapi semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan mengguanakan analisis yang tajam.
4.Mengguanakan Hipotesis
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntut dalam proses berfikir dengan menggunakan analisis. Hipotesis harus ada untuk mengonggokkan persoalan serta memadu jalan pikiran kea rah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran denga ntepat. Hipotesis merupakan pegangan yang khas dalam menuntut jalam pikiran penelitian.
5.Menggunakan ukuran objektif
Kerj penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan hars dibuat secara objektif dan dengan menggunakan pikiran yang waras.
6.Menggunakan teknik kuantifikasi
Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus digunakan kcuali untuk atribut-atribut yang tidak dapat dikuantifikasikan. Ukuran-ukuran seperti ton, mm, perdetik, kilogram dan sebagainya harus selalu digunakan. Jauhi ukuran-ukuran seperti, sejauh memandang, sehitam aspal dan sebagainya. Kuantifikasi yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, rangking dan rating. (Moh. Nazir, 2003).

C. JENIS-JENIS METODE ILMIAH
Ilmu pengetahuan sebagaimana disinggung diatas mempunyai metode tersendiri dalam memperoleh pengetahuan aau kebenaran.Menurut Burhanuddin salam (1997) sejumlah lmu seperti fisika,Astronomi, dan Psikologi dalam penyalidikannya tidak hanya menggunakan satu macam metode saja.Ilmu pengetahuan seperti Astronomi berangkat dengan menggunakan metode observasi. Fisika dan Kimia menitik beratkan pada eksperimen, sedangkan ilmu-ilmu yang lain menggunakan metode trial and error, statistic dan samping.
Berikut akan dijelaskan beberapa jenis metode ilmiah menurut Burhanuddin Salam (1997=109-113), yaitu:
1)Metode Observasi
Metode observasi melingkupi pengamatan inderawi (sense perseption), seperti melihat ,mendengar,menyentuh,meraba,membawa sesuatu,juga didalamnya termasuk bahwa kita sadar,berada dalam situasi tang bermakna dengan berbagai fakta saling berhubungan.
2)Metode Trial and error
Metode trial and error (coba-salah) atau metode trial and success (coba-hasil) ditemukan antara hewan-hewan dimana mereka mencoba memecahkan masalahnya. Kemudian, teknik ini dipergunakan oleh ahli psikologi yang diterapkan pada penelitian tentang hewan dan manusia.
Para ilmuan menggunakan metode ini untuk mengetest ide (cita-konsep) dan system berfikir yang koheren dan memenuhi fakta serta kemantapan logika, pemecahan yang menyenangkan akan memberikan kepuasan dan hal itu merupakan bagian kepercayaan yang diterima.
3)Metode Eksperimen
Metode eksperimen adalah berdasarkan pada penemuan sebab-akibat dan pengujian hipotesis.

Selain dari tiga metode diatas terdapat juga metode ilmiah yang lain diantaranya:
A.Metode Induksi-Deduksi
1.Metode induksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Induksinya pada umumnya disebut generalisasi. Dalam ilmu social dan lebih-lebih ilmu Humaniora, induksi ini semacam case- study.kasus manusia yang kongret dan individual dalam jumlah terbatas dianalisis dan pemahaman yang ditemukan didalamnya dirumuskan secara umum atau universal.
2. Metode deduksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Penerapan metode deduksi harus melalui dua tahap, yaitu:
a)Dan pemahaman yang telah digeneralisasi dapat dibuat deduksi mengenai sifat-sifat yang lebih khusus mengalir dari yang umum, tetapi segi khusus ini masih tetap merupakan pengertian umum.
b)Yang umum,semuanya harus dilihat kembali dalam skala yang individual.



B. Metode Analisis-sintesis

1.Metode Analisis

Adalah jalan yang di pakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Jadi, dalam hal ini orang akan memperoleh sesuatu pengetahuan yang sifatnya baru sama sekali.
Tujuan pokok mengadakan analisis dalam metode ilmiah adalah untuk melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung dalam pernyataan tersebut. Didalam filsafat analisis berarti pemerincian istilah-istilah atau pendapat-pendapat kedalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya.Maksud dari segala analisis adalah untuk memperokeh kejelasan arti yang sebenar-benarnya, jika berusaha memahami sesuatu maka kita perlu kejelasan tentang arti yang ingin dipahami.

2.Metode Sintesis

Adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula berarti cara penanganan terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan yang sifatnya baru sama sekali.
Maksud pokok metode sintesis adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia.Sintesis merupakan metode untuk mencari kesatuan dalam keberagaman.

C. Metode Kualitatif-Kuantitatif

Ada beberapa ciri penelitian kualitatif-kuantitatif sebagaimana telah dirumuskan oleh Dr. Lexy J.Moleong, M,A. dalam buku metode peneliian kualitatif (1995).
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif. Kirk dan Miller memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahanya.
Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamankan.
Sebaiknya penelitian kuantitatif, melibatkan pengukuran tingkatan suatu cirri tertentu, untuk menemukan sesuatu dalam pengmatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi cirri sesuatu itu.

D. Metode Hermeneutik

Secara etimologi, kata hermeneutic berasal dari yunani hermeneu yang berarti menafsirkan, kata bendanya hermenia, sewcara harfiah dapat diartikan “penafsiran” atau interprestasi, sedangkan orang atau penafsirnya disebut hermeneut. Istilah tersebut menurut sesuatu cerita mitologis, diambil dari nama tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan yunani kepada manusia. Fungsi Hermes menjadi penting, sebab apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan Dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses pengubah sesuatu dari situasi katidak tahuan menjadi mengnerti.
Hermeneutik sebagai suatu metode diartikan sebagai cara menafsirkan symbol yang berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya. Metode Hermeneutik ini yang tidak dialami,kemudian dibawa kemasa sekarang. Dengan demikian penerapan Hermeneutik sangat luas yaitu meliputi bidang teologi, filosofi, linguistic dan hokum.
Hermeneutik sebagai metode pembahasan filsafat akan selalu relavan sebab kebenaran yang tergantung pada sipenafsir, yang melakukan interprestasi dan metode hermeneutic secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan pikiran pada zamannya.

Kesimpulan
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan langkah untuk memperoleh pengetahan atau mengembangkan pengetahuan. Pola umum tata langkah dalam metode ilmiah mencakup penentuan masalah, perumusan dugaan sementara, pengumpulan data, perumusan kesimpulan dan verifikasi.
Corak-corak metode ilmiah yang berkembang menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat positifistik, determistik, evolusionistik, sehingga analisisnya selalu dengan pendekatan-pendekatan kuantitatif dan eksperimen melalui observasi.
Adapun kreteria metode ilmiah adalah berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran obyektif,dan menggunakan tehnik kuantifikasi.
DAFTAR ISI

Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Cet. V.
Surajio. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007. Cet. I.
Suriasumantri., Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2003. Cet. VI.
Sudarto. 1997. Metode Penelitian filsafat. PT. Raja Grafindo Persada : Jakata

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu. Bumi Aksara : Jakarta

Sugsono, Bambang. 1998. Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada ; Jakarta

Tte Liang Gie. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta

Tim Dosen Filsafat ILmu UGM. 2003. Filsafat Ilmu. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta

DASAR-DASAR ILMU (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)

A.ONTOLOGI
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Ruang lingkup garapan ontology itu sendiri meliputi fisika dan metafisika dan metafisika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan filosuf barat, yang kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Ontology menurut Lois O. kattsoff yang dibagi menmjadi empat bagian yaitu: ontology bersahaja adalah sesuatu dipandang sewajarnya dan apa adanya, Ontologi Kuantitatif adalah sesuatu yang dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya, Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari pertanyaan apa yang merupakan jenis pertanyaan itu, Ontologi Moderik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka yang pada akhirnya akan melahirkan ontolohi monistik atau idealisme.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.Aliran monoisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu, tidak mungkin dua, masing-masing b bebas berdiri sendiri. Haruslah salah satunya sumber yang pokok dan domonan yang menentukan perkembangan lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang ada itu serba sepirit, ideal dan serba Roh yang kemudian dikelompokan kedalam aliran ­Monoisme-idealisme. Paham ini terbagi menjadi dua aliran:
a)Aliran materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat yang mati merupakan kenyataan satu-satunya fakta dan jiwa atau ruh tidaklah merupakan kenyataan yang berdiri sendiri.
b)Aliran Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam jiwa yang dinamakan dengan Sepritualiseme, berarti serba ruih dan menyatakan bahwa hakiakt benda adalah ruhani dan bersifat sepiritual.
2.Aliran dualisme, aliran ini menggabungkan dua hakikat antara dualisme dengan materialisme, dikatakan bahwa alam wujud ini tyerdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan sepirit.
3.Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
4.Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas.
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas.
Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena.
Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
5.Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.



B. EPISTIMOLOGI
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.      Hakikat itu ada dan nyata;
2.      Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.      Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.      Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. ayang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
 Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.   Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c.   Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.   Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
3.Hubungan Epistimologi dengan Ilmu-ilmu Lain
a)Hubungan epistimologi dengan ilmu logika
Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b)Hubungan epistimologi dengan filsafat
Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.
c)Hubungan epistimologi dengan Teologi dan Tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
4.Urgensi Epistimologi
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk kritikan.
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi. “
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno            
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)  
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).[33]
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual[35]?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.[36]
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat  kata-kata semata.[37]
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.[38]
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”. [wisdoms4all.com]
C.. AKSIOLOGI
Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur.1 Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.2
a.Etika
Etika sebagai cabang filsafat disebut juga filsafat moral. Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos = watak, sedang moral berasal dari kata latin mos (tunggal), mores (jamak) = kebiasaan atau kesusilaan. Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban- kewajiban manusia.3
b.Estetika
Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika = hal-hal yang dicerap dengan indra atau aisthesis = cerapan indra. Kalau etika digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul aesthetica acromatika(1750- 1758).
Pendapat lain untuk mengenal lebih jelas apa yang dimaksud dengan aksiologi yakni diantaranya:
1)Aksiologi berasal dari kataperkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah ”teori tentang nilai”
2)Sedangkan arti aksiologi adalah sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.4
3)Menurut Bramel , aksiologi terbagi dalam tiga bagian . pertama moral conduct (tindakan moral), dan melahirkan disiplin khusus (etika). Kedua, esthetic expression (ekspresi keindahan). Bidang melahirkan keindahan. Ketiga sosio – political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4) Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan,aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a.Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran.
b.Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai –nilai yang dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai.seperti nilainya ,nilai dia dan sistem nilai dia.
c.Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari definisi definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang di miliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang di nilai.5
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna ”etika” dipakai dalam dua bentuk arti pertama, etika merupakan sutu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan- perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal- hal perbuatan –perbuatan atau manusia – manusia yang lain. Seperti ungkapan ”ia bersifat etis atau ia seorang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila. Objek formal etika adalah norma – norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatukondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma- norma. Estetiaka berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. 6Di hadapkan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan dalam dua golongan pendapat.Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan di pergunakan untuk tujuan yang baik ataukah , untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi jenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan,sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,yakni:
Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan denga adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi teknologi keilmuwan.
Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum keilmuwan lebih mengetahui tentang ekses ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bhawa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revulusi genetika perbuatan sosial .7
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus dutujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.8 Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epismotologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.9 Nilai dari telaah filsafat, menurut Damardjati Supadjar mencangkup empat wilayah: keindahan(estetika), kebaikan (etika), kebenaran(logika) dan kesakralan(agama). 10Aksilogi juga meliputi nilai nilai(value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan.Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan di susun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak dapat terbatas pada ras, idiologi,atau agama.11Dengan demikian ilmu tidak dapat lepas dari nilai, terutama nilai moral, sehingga senantiasa tercipta kentrentaman dan kadamaian yang di bangun di atas asas kemaslahatan.

Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Masruri, Hadi. Rossidi, Imron. 2007, Filsafat Sain Dalam al-Qur,an, UIN Malang Press, Malang.
Bakhtiar, Amsal. 2007, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Surajiyo,2005, Ilmu Filsafat (suatu pengantar), Bumi aksara, Jakarta.
Suriasumarti, Jujun. 2003, Filsafat Ilmu Pengantar populer, Pustaka sinar Harapan, Jakarta.
Ghafur, Abdul. 2007, Dikta Filsafat Ilmu, Malang.
http:/www.al-madinah.com.

Sumber-sumber Pengetahuan

A. Rasio (akal)
Tidak dapat dipungkiri bahwa akal adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut kaum rasionalis bahwa suatu pengehuan hanya bisa diperoleh dengan cara berfikir.
Kaum rasionalis bukan mengingkari nilai-nilai yang diperoleh melalui pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai jenis perangsang (stimulus) bagi pikiran. Para penganut rasionalis berkeyakinan bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam tubuh kita, dan bukannya dibarengin dengan sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan, atau menunjuk menunjuk kita dan hanya diperoleh dengan akal budi saja. (juhaya,2003)
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstrak dari benda-benda konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi.
Akal selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdsarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengethuan tentang objek yang betul-betul abstrak.1
Akal (rasio) mampu mengetahui kebenaran alam semesta,yang tidak mungkin dapat diketahui melalui observasi. Menurut faham ini, penglaman tidak dapat menguji kebenaran “hokum sebab akibat”, sebab yang banyak tak terhingga itu tidak mungkin dapat diobservasi. Pengalaman hanya sampai menggambarkan, tidak dapat dibuktikan.2
Tokoh sentral dalam faham ini adalah Rene Deskartes, seorang fisuf asal perancis, cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada) merupakan prinsip utama filsafat dan inilah kenyataan yang menurutnya paling jelas yang mendasar mengenai keberadaan manusia.3
Ia yang pertama kali mengenalkan rasio sebagai sumber pengetahuan. Ia tidak puas dengan paham skolastik karena dilihatnya saling bertentangan dan tidak ada kepastian, hal itu karena tidak ada metode berfikir yang pasti. Deskartes mengemukakan gagasan/metode baru yaitu kergu –raguan de omnibus dubitandum (segala sesuatu harus diragukan), jika orang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berfikir. Sebab yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang benderang. (ahmad syadall dan mudzakir, 1999).
Paham rasionalisme ada beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan Deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini. prinsip-prinsip itu kemudian oleh Deskartes, dikenalkan dengan istilah substansi, yang tak lain adalah. Ide bawaaan (inneat ideas) yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and distinct, tak bisa diragukan lagi ada tiga ide bawaaan yang diajarkan Descartes, yaitu :
a)Pemikiran Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b)Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab

Tokoh lain dari fahan ini adalah leibniz dan wolf seorang jerman yang pada usia tujuh belas tahun telah menjadi sarjana dan menjadi duta. teorinya menyatakan bahwa segala sesuatu itu terjadi dari monade, tidak ada hubungannya dengan luar dan tidak mempunyai hubungan apapun, pengetahuan tak berpangkal pada diri kita sendiri, yaitu akal. ia menyatakan "Doctrin of innate idea" (innate: dibawah sejak lahir) gagasan-gagasan inilah yang membawa kita pada pengetahuan. pikiran diperoleh dari diri kita sendiri, dibawah sejak lahir misalnya. bujur sangkar tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat dipikirkan. Jadi, bujur sangkar ada pada dirikita, Dari gagasan itu.7
Leibnia menyebut substansi dengan "monade" sebagai principles of nature and the gracefounded and reason. Ia Memaknai monade ini dengan "the true atoms of nature" atom disini tidak sebagai mana dalam ajaran demokratis dan epikoros, tetapi "jiwa-jiwa", sehingga monade yang ia maksudkan adalah. "pusat-pusat kesadaran". Begitulah leibnia, ia adalah di antara tokoh-tokoh rasionalis yang juga mengakui adanya prinsip-prinsip rasional yang bersifat a priori. Diatas prinsip rasional inilah kemidian ia menyusun pemikiran filsafatnya, diantara yang paling terkenal adalah logika modern, yang telah mengantarkannya untuk dijuluki " bapak logika modern".
Logika leibnia dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu ada dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibnia mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang tampil secara sistematis. Pandangan epistemologi leibnia,yakni kebenaran pasti atau kebenaran logis dan kebenaran fakta atau kebenaran pengalaman.8
c.wolff seornag jerman yang merupakan eksponen dari rasionalisme. Ia seorang guru besar yang menyebarkan filsafat yang berkembang pada masa itu, sifatnya rassional. Wolff adalah penyadar filsafat leibnia, bahkan "konon" leibnia sendiri tidak menciptakan suatu sistematis filosofis. Ditangan wolff inilah pemikiran leibnia mendapat sistematisnya. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ia sebut dengan "premis", kemudian wolff membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga bidang, yaitu apa yang ia sebut dengan kosmologi rasional, psikologi rasional, dan teologi rasional.
Beberapa ajaran pokok dari faham ini adalah:
a.Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental.
b.Realitas dapat diketahui secara tidak tergantung dari pengamatan, pengalaman, dan menggunakan metode empiris.
c.Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang mendahului pengalaman apapun juga.
d.Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif.
e.Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi- inderawi,tetap dengan criteria seperti konssistensi logis.
f. Terdapat metode rasional (deduktif, logis, matematis, inferensial) yang dapat diterapkan 1pada materi soalsoal pokok apa saja dan dapat memberikan penjelasan yang memadai.
g. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni.
h. Hanya kebenaran- kebenaran niscaya dan pada dirinya sendiri,yang timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar,nyata, dan pasti
.i. Alam semesta (realitas) mengikuti hokum- hokum dan rasionalitas (bentuk) logika.
j. Begitu logika diketahui, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap deduksi dari prinsip-prinsip / hokum-hukum.(Bagus Lorens, 1996),
Tokoh- tokoh Empirisyang mengagungkan rasio diantaranya adalah Blaise Pascal dan Nicole Malehrenda.

B. Empiris
Empiris berasal dari bahasa Yunani empeira, empeiros (berarti pengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk), latin : experienta ( pengalaman).Faham yang terkait dengan ini disebut empirisme.(Lorens Bagus,1996).
Berbeda anggapan rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio,faham ini berpendapat bahwa indera atau pengalaman adalah sumber satu- satunya atau paling tidak sumber primer dari pengetahuan manusia, sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang palin jelas dan sempurna.
Empirisme merupakan aliran yang mengakui bahwa penetahuan itu hakikatnya berdasarkan pengalaman atau empiris melalui alat indera. Empirisme menolak pengetahuan yang semata- semata berdasarkan akal karena dipandang sebagai spekulasi belaka yang tidak berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan sejati harus berdasarkan kenyataan sejati, yaitu realitas.
Empirisme diperoleh dengan jalan observasi, atau dengan jalan penginderaan. Pengalaman merupakan factor fundamental dalam pengetahuan manusia. Pendek kata, apa yang kita ketahui berasal dari segala apa yang kita dapatkan melalui alat indera.
Berbicara tentang pengalaman, Randall mengklasifikasikannya menjadi enam bentuk, yaitu :
a.Merupakan suatu akamulasi pengetahuan, informasi, ataupun skill, yang menunjukkan derajat yang berbeda antara pengalaman seseorang dengan yang lainnya, dan menunjukkan suatu perubahan dan perkembangan.
b.Merupakan suatu kualitas dari perasaan,atau emosi yang menunjukkan reaksi psikologis. Sebagai contoh : “saya memilki pengalaman yang mengerikan kemarin “.
c.Merupakan keseluruhan lapangan kesadaran kita. Yang termasuk pengertian ini tidak hanya penginderaan langsung, melainkan juga tidak langsung
d.Merupakan suatu latihan yang sistematis dalam melakukan teknik- teknik observasi secara sadar. Dalam hal ini pengalaman menunjukkan kejadian dalam suatu peristiwa khusus dari suatu respon psikologis.
e.Sebagai dunia fakta, sesuatu yang bersifat eksternal dan objektif2
f.Sebagai suatu relasi, atau hubungan. Dalam pengertian ini pengalaman tidak mutlak murni subjektif, dan tidak mutlak murni objektif, melainkan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkunganya.
Jhon locke, (1632-1704), bapak empirisme dari Britaniamengemuksksn teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari penetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki penetahuan. Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama- kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusnlah pengetahuan berarti
Jhon Locke, yan juga seorang doctor Inggris yang juga penasehat raja Inggris yang sangat berhati- hati dalam berbicara Ucapannya “ tidak ada sesuatu pada akal yang sebelumnya tidak ada pada indera kita (kebalikan dari Descartes)”. JAdi, inderasebagai hal primer, sedangkan akal sebagai hal sekunder yang fungsinya sebagai penerima. DEngan demikian ia menolak “ Doctrin of innate ideas “. Jhon Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, mula- mula rasio harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya adalah dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriah (sensation) dan batiniah (reflextion. Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide- ide yunggal (simple ideas). Jiwa manusiawi bersifat pasif sekali dalam menerima ide- ide tersebut. Meski ia juga mempunyai aktifitasnya, yaitu dengan menggunakan ide- ide tunggal sebagai bahan bangunan, jiwa manusiawi dapat membentuk jiwa majemuk (complex ideas), misalnya ide substansi, yaitu jika ide tunggal dapat selalu bersama. Selanjutnya, Jhon Locke mengakui bahwa dalam dunia luar ada material, dan ini juga menunjukkan sikap inkonsistensi (atau inconherent, dalam bahasa Hume) pemikiran jhon Locke. Menurut Ia pula, seluruh sisa pengetahuan. Kita peroleh dengan penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana itu. Ia memandang bahwa akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil- hasil penginderaan tersebut. (Juhaya,2003).
Empirisme mempunyai beberapa bentuk. Bentuk sensasionalisme yang sempit mengatakan bahwa pengetahuaan itu rasa (sensation), disamping rasa tidak ada pengetahuan. Pda abad ke-18, Jhon Locke menganggap akal sebagai sepotong lilin, lilin itu akan berbentuk apa yang ditekankan kepadanya, dengan demikaan kal mencatat kesan-kesan yang datang dari luar. Empirisme yang lebih, baru menolak teori pengetahuan ini, pragmatisme sebagai suatu bentuk dari empirisme yang radikal, menganggap akal sebagai aktif dalam memilih dan mencetak pengalamannya, menurut kepentingan dan tugas- tugas dari organisme. (Titus et. All. 1984).
Salah satu tokoh utama dalam aliran ini adalah Francis Bacon (1210-1292 M), Ia merupakan filosof dan penulis asal Inggris, Francis Bacon mengatakan “Bila anda memulai dengan kepastian, pada akhirnya anda akan menemukan keraguan, tetapi bila anda puas dengan memulai keraguan, pada akhirnya anda akan menemukan kepastian. Mengetahui secara benar adalah mengetahui lewat penyebab- penyebab. Tak ada yang menakutkan, kecuali ketakutan itu sendiri dan perlu diketahui yang mendatangkan kenikmatan dan ketenanagn itu adalah kebaruan, bukannya kualitas. DIA pun mengatakan “memang benar, sedikit filsafat akan membawa orang ke ateisme, tetapi kedalaman kedalaman filsafat akan membimbing akal dan penalaran menuju agama”. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapaimelalui induksi. (Ahmad Syadali dan Mudzakir,1999).
David Hume (1711-1776 M),seorang kritikus dan ahli filsafat. Salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan- kesan (impressior) dan pengertia- pengertian atau ide- ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samara- samara dihasilkan denagn merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. IA juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakina dibandingakan kesimpulan logika atau kemestian sebab- akibat.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata, Karena merupakan gejala yang tertangkap dari panca indera. Hal ini membawa kita kepada dua masalah. Pertama, sekirannya kita mengetahui dua fakta yang nyata, rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenal kaitan antara kedua fakta tersebut ?. Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat yang menangkapnya.
Aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain :
1.Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil ? ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2.Indera menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin, ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3.objek yang menipu, contohnya adalah fatamorgana dan ilusi, jadi objek itu sebenarnay tidak sebagaimana ia ditangakap oleh indera, ia membohongi indera.
4.Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak dapat melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu tidak bisa memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Tokoh lainnya yang sahat consent dengan faham ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679 M), dan George Barkeley (1665-1753 M).

C. Intuisi
Selain kedua sumber pengetahuan diatas masih terdapat cara lain untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi, intuisi diadopsi dari bahasa Inggris intuition yang berasal dari bahasa latin intueri-intuitus (memandang), dari in tueri (melihat, menonton). (Lorens Bagus, 1996).
Sedangkan secara terminology diartikan sebagai berikut :
a.Pemahaman atau pengenalan sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan). Penglihatan langsung atau penangkapan (apehensi) kebenaran.
b.Daya (kemampuan untuk memiiki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio.
c.Pengetahuan atau isight (pemahaman) bawaan, naluriah tanpa mengguanakan panca indera, pengalaman biasa atau akal budi kita. (Lorens Bagus, 1996).

Menurut jujun, intuisi ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu, artinya sesorang dalam memikirkan suatu masalah dan tiba- tiba saja ia menemukan jawabannya tanpa adanya proses berfikir pada umumnya. (jujun,2003).
Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzche merupakan intelegensiyang palin tinggi.
Menurut kaum intuisionis, dengan intuisi kita mengetahui diri kita, mengetahui karakter, perasaan, dan motif orang lain,serat kita mengetahui, mengalami hakikat yang sebenarnya tentang waktu,gerak, dan aspek- aspek yang fundamental dalam jagad raya ini. Dengan intuisi kita dapat menangkap kenyatan- kenyatan yang konkret.
Intuisi manusia merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran. Jawaban dari permasalahan yang sedang dipikirkan melalui benak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai kesitu secara rasional. Pengetahuan intuitif ini dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapka benar tidaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitif saling bekerja sama dalam menentukan kebenaran.
Salah satu tokoh yang palig serius memperjuangkan konsep ini adalah Henri Bergson (1959-1941 M). Ia seorang filusuf dan pemenang nobel 1927, Ia mengatakan bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan. Intuisi yang sesungguhnya menurutnya adalah naluri (insting) yang menjadi kesadarn diri sendiri, dapat menuntun kita pada kehidupan yang dalam, jika intuisi dapat meluas, ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital.(Titus.et.all,1984).
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusu pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Intuisi merupakan pengetahuan khas manusia. Pengetahuan ini sebenarnya juga berada pada rasionalitas manusia pada umumnya, hanya itu bisa dibedakan dengan pengetahuan rasional yang menekankan pada sistematika dan kekuatan metodologi.
Ada beberapa pandangan terkait dengan intuisi, yaitu :
a. Bahwa terdapat intuisi dalam segala pengetahuan, George Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran kita tentang data- data yang langsung kita rasakan. W.E Hocking berkata bahwa mengetahui diri sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda- benda lain.34
. Intuisi hanya merupakan hasil tumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang pada masa lalu, Intuisi yang benar adalah pemendekan terhadap penetahuan yang seharusnya diungkapkan oleh indera dan pemikiran reflektif. Intuisi adalah hasil dari induksi dan deduksi dibawah sadar. Mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam bidangnya.
c. Intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal.
d. Intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung mengatasi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indera. Pengetahuan mistik ini telah diberi defenisi sebagai orang yang sadartentang kesadaran yang maha riil. (Titus.et.all,1984).

D. Wahyu
Term “wahyu” berasal dari bahasa al-Quran (Arab) yang berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Secara terminology wahyu diartikan dengan “jalan khusus yang digunakan Alloh SWT untuk berhubungan dengan rosul- rosulnya dan nabi- nabinya untuk menyampaikan kepada merekaberbagai macam hidayah dan ilmu “. (al-Aththar,1994).
Posisi wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi histories maupun noratif, posis wahyu itu demikian pnting dalam mengarahkan, membimbing dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dan tuhannya.
Wahyu Alloh berisikan pengetahuan baik mengenal kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiris maupun yang mencakup permasalahan yang transcendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia,dunia, dan segenap isisnya, seperti kehidupan di akhirat nanti dihari kemudian.
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan suatu konsep epistimologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistimologi relasional. Kosep ini jelas kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah puts. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalm satu kondisi histories tertentu (Zaid,2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yangmembagi wahyu kepada dua dimensi :the first massage di satu sisi, dan the second massage.
Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan. Pertama, intelek aktif, yaitu satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transedent antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al- aql mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transcendent dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al- aql munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.5
. Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Iintervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yangsering kali atau bahkan selalu turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitashistoris yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peprangan kelompok Ali dan Muawwiyah, yang kemudian diselewengkan dengan Muawwiyah sebagaibentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi bukti histories bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Quran, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.
Dengan demikian wahyu sebagai guidance bagi umat beragama, dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnay lahir untuk menjambatani manusia membongkar dimensi- dimensi filosofis yang tarkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan- penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofiswahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.

Kesimpulan
Manusia lahir di dunia bisa mulai mendengar, melihat dan merasakan objek- objek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan.Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas tterutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berfikir tentang materialitas, yakni kekuatan supranatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses- proses penciptaan dari tiada menjadi ada,dari ada menjadi tiada.
Berdasarkan uraian diatas, untuk mempermudah pembahasan dan memperluas wawasan, maka sumber-sumber pengetahuan dapat di klasifikasikan menjadi 4, yaitu :
1.Rasio (Akal)
Tokoh sentral dalam faham ini adalah Rene Descartes (1596- 1650),kaum rasionalis bukan mengingkari nilai- nilai yang diperoleh melalui pengalaman, melainkan pengalaman paling- paling dipandang sebagai jenis perangsang (stimulus) bagi pikiran. Para penganut rasionalis berkeyakinan bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide kita, dan bukannya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan, atau menunjuk pada kenyataan.
2.Empiris
Berbeda dengan anggapan rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, faham ini berpendapat bahwa indera atau pengalaman adalah sumber satu- satunya tau paling tidak sumber primer dari pengetahuan manusia, sehingga pengenalan inderwi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
3. Intuisi
Selain kedua sumber pengetahuan diatas masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi.
Menurut jujun,intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu artinya seseorang dalam memikirkan suatu masalah dan tiba- tiba saja ia menemukan jawabannya tanpa adanya proses pemikiran yang beliku-liku sebagaimana proses berfikir pada umumnya.
4. Wahyu
Wahyu berasal dari bahasa Arab yaitu pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Posisi wahyu dalam islam sangatlah sentral. Berdasarkan histories maupun normative, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasr relasi antara manusia dengan realitas transcendent yang diyakininya.Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.

Daftar Pustaka
Suria Sumantri, jujun. 1984. filsafat ilmu sebagai pengantar popular. Jakarta :PT Total Grafika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika materiil (filsafat ilmu pengetahuan).Jakarta: Rineka Cipta.
Zainudin, M. 2003.Filsafat Ilmu. Jakarta: Bayu Media Publishing
Bakhtiar, Amsal. 2007. filsafat ilmu. Jakata: PT Raja Grafindo.
Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Jogyakarta: Ar-Ruz Media.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Jogjakarata: Belukar.
Murbandono, L. 2004. Pemikir Besar Dunia Ucapan dan kebijaksanaan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Ghofur,Abd.2007. Filsafat Ilmu. Malang.