Minggu, 14 September 2008

Metode Ilmiah

A. Pengertian Metode Ilmiah
Metode secara etimologis berasal dari kata yunani “meta” yang berarti sesudah dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah-langkah yang di ambil menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetyahuan yang benar ,yaitu suatu tatacara,tehnik atau jalan yang telah dirancang dan di pakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan humanistic dan histories, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.(Sri Soeprapto,2003)
Menurut Almack(1939),metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan menurut Burhanuddin Salam(1997) metode ilmiah merupakan cara dalam mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dengan mempergunakan metodde ilmiah dapat digolongkan kepada pengetahuan yang bersifat ilmiah,disingkat pengetahuan ilmiah.
Metode ilmiah dalam prosesnya untuk menemukan pengetahuan yang dipercaya terdiri atas beberapa langkah tertentu yang semuanya kait-mengkait satu sama lainnya secar dinamis. Seorang ilmuwan harus mengenal langkah-langkah ini dengan seksama, agar bisa sampai pada kesimpulan yang benar. (Burhanuddin Salam, 1997).
Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut,untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan.Tanpa metode ilmiah,suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu,tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lainnya.1
Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata, maka ilmu mencari jawabannya pada dunia nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Esensi menyatakan, apapun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang di maksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekakan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan. Pengetahuan yang secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak fakta. Dengan sederhana, maka hal itu berarti bahwa untuk semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat, yaitu :
1.Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
2.Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat iterima kebenarannya secara ilmiah.

Dengan demikian logika ilmiah merupakan gabungan antara logika dedukatif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah system dengan mekanisme korektif.
Metode ilmiah merupakan cara atau prosedur yang digunakan dalam kegiatan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah atau ilmu. Metode ilmiah sekurang-kurangnya ada dalam lima langkah yang dapat dikatakan sebagai pola umum, yaitu :
1.Penerapan/perumusan masalah. Merupakan pernyataan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diindentifikasikan factor-factor yang terkait didalamnya.
2.Perumusan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentku konstelasi permasalahan.
3.Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesipulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperhatikan apakah terdapat fakta-fakta mendukung atau tidak.
5.Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima.2

Keseluruhan langkah diatas harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Walaupun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, dimana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah berikutnya, namun dalam praktek sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara stabil melainkan dinamis dengan pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.
Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini dapat dipakai dengan melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah berlangsung dari abad ke abad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, dapat difahami bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain juga bersangkutan dengan metode ilmiah yang digunakan. Ilmu-ilmu terutama berbeda sama lain, karena digunakannya metode-metode yang sangat berkelainan untuk menyelediki, melukiskan dan mengerti realitas. (Van Melsen, 1986).
Bidang keilmuan terutama metodologinya secara langsung menyangkut obyeknya. Dan dibedakan secara jelas antara Naturwissenschften dan Geisteswissenschaften. Sedangkan Geisteswissenschaften adalah ilmu-ilmu budaya atau ilmu-ilmu yang objeknya hasil atau ekspresi roh manusia. (Sri Soeprapto, 2003).
Sifat-sifat objek yang berbeda dari kedua tipe ilmu pengetahuan diatas membawa konsekwensi logis pada adanya perbedaan yang mendasar dibidang metodologi bagi masing-masing ilmu pengetahuan tersebut, seperti ilmu-ilmu kealaman biasanya disebut siklus-empirik. Istilak siklus-empirik ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara inderawi. Metode siklus empirik ini mencakup lima tahapan yaitu, observasi, induksi, deduksi, eksperimen dan evaluasi. Sedangkan ilmu-ilmu sosial pada umumnya menggunakan metodologi yang disebut metode linier. Metode linier memilki beberapa tahap yaitu persepsi, konsepsi dan perediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indera. Konsepsi adalah pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu sistem. Prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus peramalan. (Sri Soeprapto, 2003).
Skema 1
Langkah-langkah dalam Metode Ilmiah menurut Jujun S

B. KRITERIA METODE ILMIAH
Upaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut :
1.Berdasarkan Fakta
Keterangan-keterangan yan ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang dianalisis haruslah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Janganlah penemuan atau pembuktian didasarkan pada daya khayal, kira-kira, legenda-legenda, atau kegiatan sejenisnya.
2.Bebas dari Prasangka (bias)
Metode ilmiah harus mempunyai sifat bebas prsangka, bersih yang jauh dari pertimbangan subjektif. Mengggunakan suatu fakta haruslah dengan alas an dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian yang objektif.
3.Menggunakan prinsip-prinsip analisis
Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang kompleks, harus digunakan prinsip analisis. Semua masalah harus dicari sebab musabab serta pemecahannya denga menggunakan analisis yang logis. Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanay atau hanya dibuat deskripsinya saja, akan tetapi semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan mengguanakan analisis yang tajam.
4.Mengguanakan Hipotesis
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntut dalam proses berfikir dengan menggunakan analisis. Hipotesis harus ada untuk mengonggokkan persoalan serta memadu jalan pikiran kea rah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran denga ntepat. Hipotesis merupakan pegangan yang khas dalam menuntut jalam pikiran penelitian.
5.Menggunakan ukuran objektif
Kerj penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan hars dibuat secara objektif dan dengan menggunakan pikiran yang waras.
6.Menggunakan teknik kuantifikasi
Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus digunakan kcuali untuk atribut-atribut yang tidak dapat dikuantifikasikan. Ukuran-ukuran seperti ton, mm, perdetik, kilogram dan sebagainya harus selalu digunakan. Jauhi ukuran-ukuran seperti, sejauh memandang, sehitam aspal dan sebagainya. Kuantifikasi yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, rangking dan rating. (Moh. Nazir, 2003).

C. JENIS-JENIS METODE ILMIAH
Ilmu pengetahuan sebagaimana disinggung diatas mempunyai metode tersendiri dalam memperoleh pengetahuan aau kebenaran.Menurut Burhanuddin salam (1997) sejumlah lmu seperti fisika,Astronomi, dan Psikologi dalam penyalidikannya tidak hanya menggunakan satu macam metode saja.Ilmu pengetahuan seperti Astronomi berangkat dengan menggunakan metode observasi. Fisika dan Kimia menitik beratkan pada eksperimen, sedangkan ilmu-ilmu yang lain menggunakan metode trial and error, statistic dan samping.
Berikut akan dijelaskan beberapa jenis metode ilmiah menurut Burhanuddin Salam (1997=109-113), yaitu:
1)Metode Observasi
Metode observasi melingkupi pengamatan inderawi (sense perseption), seperti melihat ,mendengar,menyentuh,meraba,membawa sesuatu,juga didalamnya termasuk bahwa kita sadar,berada dalam situasi tang bermakna dengan berbagai fakta saling berhubungan.
2)Metode Trial and error
Metode trial and error (coba-salah) atau metode trial and success (coba-hasil) ditemukan antara hewan-hewan dimana mereka mencoba memecahkan masalahnya. Kemudian, teknik ini dipergunakan oleh ahli psikologi yang diterapkan pada penelitian tentang hewan dan manusia.
Para ilmuan menggunakan metode ini untuk mengetest ide (cita-konsep) dan system berfikir yang koheren dan memenuhi fakta serta kemantapan logika, pemecahan yang menyenangkan akan memberikan kepuasan dan hal itu merupakan bagian kepercayaan yang diterima.
3)Metode Eksperimen
Metode eksperimen adalah berdasarkan pada penemuan sebab-akibat dan pengujian hipotesis.

Selain dari tiga metode diatas terdapat juga metode ilmiah yang lain diantaranya:
A.Metode Induksi-Deduksi
1.Metode induksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Induksinya pada umumnya disebut generalisasi. Dalam ilmu social dan lebih-lebih ilmu Humaniora, induksi ini semacam case- study.kasus manusia yang kongret dan individual dalam jumlah terbatas dianalisis dan pemahaman yang ditemukan didalamnya dirumuskan secara umum atau universal.
2. Metode deduksi
Ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Penerapan metode deduksi harus melalui dua tahap, yaitu:
a)Dan pemahaman yang telah digeneralisasi dapat dibuat deduksi mengenai sifat-sifat yang lebih khusus mengalir dari yang umum, tetapi segi khusus ini masih tetap merupakan pengertian umum.
b)Yang umum,semuanya harus dilihat kembali dalam skala yang individual.



B. Metode Analisis-sintesis

1.Metode Analisis

Adalah jalan yang di pakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Jadi, dalam hal ini orang akan memperoleh sesuatu pengetahuan yang sifatnya baru sama sekali.
Tujuan pokok mengadakan analisis dalam metode ilmiah adalah untuk melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas suatu pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung dalam pernyataan tersebut. Didalam filsafat analisis berarti pemerincian istilah-istilah atau pendapat-pendapat kedalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya.Maksud dari segala analisis adalah untuk memperokeh kejelasan arti yang sebenar-benarnya, jika berusaha memahami sesuatu maka kita perlu kejelasan tentang arti yang ingin dipahami.

2.Metode Sintesis

Adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula berarti cara penanganan terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan yang sifatnya baru sama sekali.
Maksud pokok metode sintesis adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia.Sintesis merupakan metode untuk mencari kesatuan dalam keberagaman.

C. Metode Kualitatif-Kuantitatif

Ada beberapa ciri penelitian kualitatif-kuantitatif sebagaimana telah dirumuskan oleh Dr. Lexy J.Moleong, M,A. dalam buku metode peneliian kualitatif (1995).
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif. Kirk dan Miller memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahanya.
Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamankan.
Sebaiknya penelitian kuantitatif, melibatkan pengukuran tingkatan suatu cirri tertentu, untuk menemukan sesuatu dalam pengmatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi cirri sesuatu itu.

D. Metode Hermeneutik

Secara etimologi, kata hermeneutic berasal dari yunani hermeneu yang berarti menafsirkan, kata bendanya hermenia, sewcara harfiah dapat diartikan “penafsiran” atau interprestasi, sedangkan orang atau penafsirnya disebut hermeneut. Istilah tersebut menurut sesuatu cerita mitologis, diambil dari nama tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan yunani kepada manusia. Fungsi Hermes menjadi penting, sebab apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan Dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses pengubah sesuatu dari situasi katidak tahuan menjadi mengnerti.
Hermeneutik sebagai suatu metode diartikan sebagai cara menafsirkan symbol yang berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya. Metode Hermeneutik ini yang tidak dialami,kemudian dibawa kemasa sekarang. Dengan demikian penerapan Hermeneutik sangat luas yaitu meliputi bidang teologi, filosofi, linguistic dan hokum.
Hermeneutik sebagai metode pembahasan filsafat akan selalu relavan sebab kebenaran yang tergantung pada sipenafsir, yang melakukan interprestasi dan metode hermeneutic secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan pikiran pada zamannya.

Kesimpulan
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan langkah untuk memperoleh pengetahan atau mengembangkan pengetahuan. Pola umum tata langkah dalam metode ilmiah mencakup penentuan masalah, perumusan dugaan sementara, pengumpulan data, perumusan kesimpulan dan verifikasi.
Corak-corak metode ilmiah yang berkembang menyebabkan ilmu pengetahuan bersifat positifistik, determistik, evolusionistik, sehingga analisisnya selalu dengan pendekatan-pendekatan kuantitatif dan eksperimen melalui observasi.
Adapun kreteria metode ilmiah adalah berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran obyektif,dan menggunakan tehnik kuantifikasi.
DAFTAR ISI

Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Cet. V.
Surajio. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007. Cet. I.
Suriasumantri., Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2003. Cet. VI.
Sudarto. 1997. Metode Penelitian filsafat. PT. Raja Grafindo Persada : Jakata

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu. Bumi Aksara : Jakarta

Sugsono, Bambang. 1998. Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada ; Jakarta

Tte Liang Gie. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta

Tim Dosen Filsafat ILmu UGM. 2003. Filsafat Ilmu. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta

DASAR-DASAR ILMU (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)

A.ONTOLOGI
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Ruang lingkup garapan ontology itu sendiri meliputi fisika dan metafisika dan metafisika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan filosuf barat, yang kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Ontology menurut Lois O. kattsoff yang dibagi menmjadi empat bagian yaitu: ontology bersahaja adalah sesuatu dipandang sewajarnya dan apa adanya, Ontologi Kuantitatif adalah sesuatu yang dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya, Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari pertanyaan apa yang merupakan jenis pertanyaan itu, Ontologi Moderik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka yang pada akhirnya akan melahirkan ontolohi monistik atau idealisme.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.Aliran monoisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu, tidak mungkin dua, masing-masing b bebas berdiri sendiri. Haruslah salah satunya sumber yang pokok dan domonan yang menentukan perkembangan lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang ada itu serba sepirit, ideal dan serba Roh yang kemudian dikelompokan kedalam aliran ­Monoisme-idealisme. Paham ini terbagi menjadi dua aliran:
a)Aliran materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat yang mati merupakan kenyataan satu-satunya fakta dan jiwa atau ruh tidaklah merupakan kenyataan yang berdiri sendiri.
b)Aliran Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam jiwa yang dinamakan dengan Sepritualiseme, berarti serba ruih dan menyatakan bahwa hakiakt benda adalah ruhani dan bersifat sepiritual.
2.Aliran dualisme, aliran ini menggabungkan dua hakikat antara dualisme dengan materialisme, dikatakan bahwa alam wujud ini tyerdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan sepirit.
3.Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
4.Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas.
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas.
Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena.
Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
5.Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.



B. EPISTIMOLOGI
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.      Hakikat itu ada dan nyata;
2.      Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.      Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.      Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. ayang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
 Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.   Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c.   Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.   Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
3.Hubungan Epistimologi dengan Ilmu-ilmu Lain
a)Hubungan epistimologi dengan ilmu logika
Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b)Hubungan epistimologi dengan filsafat
Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.
c)Hubungan epistimologi dengan Teologi dan Tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
4.Urgensi Epistimologi
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal dan saling terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak layak memerintah, karena Anda bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan bahwa karena manusia tak bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya, maka penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah wakil Tuhan yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan bahwa makrifat agama adalah bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan, sementara kaum ulama tersebut tak menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak memerintah.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk kritikan.
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi. Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi. “
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno            
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)  
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).[33]
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual[35]?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.[36]
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat  kata-kata semata.[37]
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.[38]
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”. [wisdoms4all.com]
C.. AKSIOLOGI
Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur.1 Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.2
a.Etika
Etika sebagai cabang filsafat disebut juga filsafat moral. Secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethos = watak, sedang moral berasal dari kata latin mos (tunggal), mores (jamak) = kebiasaan atau kesusilaan. Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban- kewajiban manusia.3
b.Estetika
Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika = hal-hal yang dicerap dengan indra atau aisthesis = cerapan indra. Kalau etika digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul aesthetica acromatika(1750- 1758).
Pendapat lain untuk mengenal lebih jelas apa yang dimaksud dengan aksiologi yakni diantaranya:
1)Aksiologi berasal dari kataperkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah ”teori tentang nilai”
2)Sedangkan arti aksiologi adalah sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.4
3)Menurut Bramel , aksiologi terbagi dalam tiga bagian . pertama moral conduct (tindakan moral), dan melahirkan disiplin khusus (etika). Kedua, esthetic expression (ekspresi keindahan). Bidang melahirkan keindahan. Ketiga sosio – political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4) Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan,aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a.Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran.
b.Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai –nilai yang dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai.seperti nilainya ,nilai dia dan sistem nilai dia.
c.Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari definisi definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang di miliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang di nilai.5
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna ”etika” dipakai dalam dua bentuk arti pertama, etika merupakan sutu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan- perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal- hal perbuatan –perbuatan atau manusia – manusia yang lain. Seperti ungkapan ”ia bersifat etis atau ia seorang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila. Objek formal etika adalah norma – norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatukondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma- norma. Estetiaka berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. 6Di hadapkan dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan dalam dua golongan pendapat.Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan di pergunakan untuk tujuan yang baik ataukah , untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi jenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan,sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,yakni:
Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan denga adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi teknologi keilmuwan.
Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum keilmuwan lebih mengetahui tentang ekses ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bhawa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revulusi genetika perbuatan sosial .7
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus dutujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.8 Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epismotologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.9 Nilai dari telaah filsafat, menurut Damardjati Supadjar mencangkup empat wilayah: keindahan(estetika), kebaikan (etika), kebenaran(logika) dan kesakralan(agama). 10Aksilogi juga meliputi nilai nilai(value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan.Demi kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan di susun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak dapat terbatas pada ras, idiologi,atau agama.11Dengan demikian ilmu tidak dapat lepas dari nilai, terutama nilai moral, sehingga senantiasa tercipta kentrentaman dan kadamaian yang di bangun di atas asas kemaslahatan.

Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Masruri, Hadi. Rossidi, Imron. 2007, Filsafat Sain Dalam al-Qur,an, UIN Malang Press, Malang.
Bakhtiar, Amsal. 2007, Filsafat Ilmu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Surajiyo,2005, Ilmu Filsafat (suatu pengantar), Bumi aksara, Jakarta.
Suriasumarti, Jujun. 2003, Filsafat Ilmu Pengantar populer, Pustaka sinar Harapan, Jakarta.
Ghafur, Abdul. 2007, Dikta Filsafat Ilmu, Malang.
http:/www.al-madinah.com.

Sumber-sumber Pengetahuan

A. Rasio (akal)
Tidak dapat dipungkiri bahwa akal adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut kaum rasionalis bahwa suatu pengehuan hanya bisa diperoleh dengan cara berfikir.
Kaum rasionalis bukan mengingkari nilai-nilai yang diperoleh melalui pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai jenis perangsang (stimulus) bagi pikiran. Para penganut rasionalis berkeyakinan bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam tubuh kita, dan bukannya dibarengin dengan sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan, atau menunjuk menunjuk kita dan hanya diperoleh dengan akal budi saja. (juhaya,2003)
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstrak dari benda-benda konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi.
Akal selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdsarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengethuan tentang objek yang betul-betul abstrak.1
Akal (rasio) mampu mengetahui kebenaran alam semesta,yang tidak mungkin dapat diketahui melalui observasi. Menurut faham ini, penglaman tidak dapat menguji kebenaran “hokum sebab akibat”, sebab yang banyak tak terhingga itu tidak mungkin dapat diobservasi. Pengalaman hanya sampai menggambarkan, tidak dapat dibuktikan.2
Tokoh sentral dalam faham ini adalah Rene Deskartes, seorang fisuf asal perancis, cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada) merupakan prinsip utama filsafat dan inilah kenyataan yang menurutnya paling jelas yang mendasar mengenai keberadaan manusia.3
Ia yang pertama kali mengenalkan rasio sebagai sumber pengetahuan. Ia tidak puas dengan paham skolastik karena dilihatnya saling bertentangan dan tidak ada kepastian, hal itu karena tidak ada metode berfikir yang pasti. Deskartes mengemukakan gagasan/metode baru yaitu kergu –raguan de omnibus dubitandum (segala sesuatu harus diragukan), jika orang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berfikir. Sebab yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang benderang. (ahmad syadall dan mudzakir, 1999).
Paham rasionalisme ada beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan Deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini. prinsip-prinsip itu kemudian oleh Deskartes, dikenalkan dengan istilah substansi, yang tak lain adalah. Ide bawaaan (inneat ideas) yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and distinct, tak bisa diragukan lagi ada tiga ide bawaaan yang diajarkan Descartes, yaitu :
a)Pemikiran Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b)Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab

Tokoh lain dari fahan ini adalah leibniz dan wolf seorang jerman yang pada usia tujuh belas tahun telah menjadi sarjana dan menjadi duta. teorinya menyatakan bahwa segala sesuatu itu terjadi dari monade, tidak ada hubungannya dengan luar dan tidak mempunyai hubungan apapun, pengetahuan tak berpangkal pada diri kita sendiri, yaitu akal. ia menyatakan "Doctrin of innate idea" (innate: dibawah sejak lahir) gagasan-gagasan inilah yang membawa kita pada pengetahuan. pikiran diperoleh dari diri kita sendiri, dibawah sejak lahir misalnya. bujur sangkar tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat dipikirkan. Jadi, bujur sangkar ada pada dirikita, Dari gagasan itu.7
Leibnia menyebut substansi dengan "monade" sebagai principles of nature and the gracefounded and reason. Ia Memaknai monade ini dengan "the true atoms of nature" atom disini tidak sebagai mana dalam ajaran demokratis dan epikoros, tetapi "jiwa-jiwa", sehingga monade yang ia maksudkan adalah. "pusat-pusat kesadaran". Begitulah leibnia, ia adalah di antara tokoh-tokoh rasionalis yang juga mengakui adanya prinsip-prinsip rasional yang bersifat a priori. Diatas prinsip rasional inilah kemidian ia menyusun pemikiran filsafatnya, diantara yang paling terkenal adalah logika modern, yang telah mengantarkannya untuk dijuluki " bapak logika modern".
Logika leibnia dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu ada dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibnia mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang tampil secara sistematis. Pandangan epistemologi leibnia,yakni kebenaran pasti atau kebenaran logis dan kebenaran fakta atau kebenaran pengalaman.8
c.wolff seornag jerman yang merupakan eksponen dari rasionalisme. Ia seorang guru besar yang menyebarkan filsafat yang berkembang pada masa itu, sifatnya rassional. Wolff adalah penyadar filsafat leibnia, bahkan "konon" leibnia sendiri tidak menciptakan suatu sistematis filosofis. Ditangan wolff inilah pemikiran leibnia mendapat sistematisnya. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ia sebut dengan "premis", kemudian wolff membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga bidang, yaitu apa yang ia sebut dengan kosmologi rasional, psikologi rasional, dan teologi rasional.
Beberapa ajaran pokok dari faham ini adalah:
a.Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental.
b.Realitas dapat diketahui secara tidak tergantung dari pengamatan, pengalaman, dan menggunakan metode empiris.
c.Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang mendahului pengalaman apapun juga.
d.Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif.
e.Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi- inderawi,tetap dengan criteria seperti konssistensi logis.
f. Terdapat metode rasional (deduktif, logis, matematis, inferensial) yang dapat diterapkan 1pada materi soalsoal pokok apa saja dan dapat memberikan penjelasan yang memadai.
g. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni.
h. Hanya kebenaran- kebenaran niscaya dan pada dirinya sendiri,yang timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar,nyata, dan pasti
.i. Alam semesta (realitas) mengikuti hokum- hokum dan rasionalitas (bentuk) logika.
j. Begitu logika diketahui, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap deduksi dari prinsip-prinsip / hokum-hukum.(Bagus Lorens, 1996),
Tokoh- tokoh Empirisyang mengagungkan rasio diantaranya adalah Blaise Pascal dan Nicole Malehrenda.

B. Empiris
Empiris berasal dari bahasa Yunani empeira, empeiros (berarti pengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk), latin : experienta ( pengalaman).Faham yang terkait dengan ini disebut empirisme.(Lorens Bagus,1996).
Berbeda anggapan rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio,faham ini berpendapat bahwa indera atau pengalaman adalah sumber satu- satunya atau paling tidak sumber primer dari pengetahuan manusia, sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang palin jelas dan sempurna.
Empirisme merupakan aliran yang mengakui bahwa penetahuan itu hakikatnya berdasarkan pengalaman atau empiris melalui alat indera. Empirisme menolak pengetahuan yang semata- semata berdasarkan akal karena dipandang sebagai spekulasi belaka yang tidak berdasarkan realitas sehingga berisiko tidak sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan sejati harus berdasarkan kenyataan sejati, yaitu realitas.
Empirisme diperoleh dengan jalan observasi, atau dengan jalan penginderaan. Pengalaman merupakan factor fundamental dalam pengetahuan manusia. Pendek kata, apa yang kita ketahui berasal dari segala apa yang kita dapatkan melalui alat indera.
Berbicara tentang pengalaman, Randall mengklasifikasikannya menjadi enam bentuk, yaitu :
a.Merupakan suatu akamulasi pengetahuan, informasi, ataupun skill, yang menunjukkan derajat yang berbeda antara pengalaman seseorang dengan yang lainnya, dan menunjukkan suatu perubahan dan perkembangan.
b.Merupakan suatu kualitas dari perasaan,atau emosi yang menunjukkan reaksi psikologis. Sebagai contoh : “saya memilki pengalaman yang mengerikan kemarin “.
c.Merupakan keseluruhan lapangan kesadaran kita. Yang termasuk pengertian ini tidak hanya penginderaan langsung, melainkan juga tidak langsung
d.Merupakan suatu latihan yang sistematis dalam melakukan teknik- teknik observasi secara sadar. Dalam hal ini pengalaman menunjukkan kejadian dalam suatu peristiwa khusus dari suatu respon psikologis.
e.Sebagai dunia fakta, sesuatu yang bersifat eksternal dan objektif2
f.Sebagai suatu relasi, atau hubungan. Dalam pengertian ini pengalaman tidak mutlak murni subjektif, dan tidak mutlak murni objektif, melainkan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkunganya.
Jhon locke, (1632-1704), bapak empirisme dari Britaniamengemuksksn teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari penetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki penetahuan. Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama- kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusnlah pengetahuan berarti
Jhon Locke, yan juga seorang doctor Inggris yang juga penasehat raja Inggris yang sangat berhati- hati dalam berbicara Ucapannya “ tidak ada sesuatu pada akal yang sebelumnya tidak ada pada indera kita (kebalikan dari Descartes)”. JAdi, inderasebagai hal primer, sedangkan akal sebagai hal sekunder yang fungsinya sebagai penerima. DEngan demikian ia menolak “ Doctrin of innate ideas “. Jhon Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, mula- mula rasio harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya adalah dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriah (sensation) dan batiniah (reflextion. Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide- ide yunggal (simple ideas). Jiwa manusiawi bersifat pasif sekali dalam menerima ide- ide tersebut. Meski ia juga mempunyai aktifitasnya, yaitu dengan menggunakan ide- ide tunggal sebagai bahan bangunan, jiwa manusiawi dapat membentuk jiwa majemuk (complex ideas), misalnya ide substansi, yaitu jika ide tunggal dapat selalu bersama. Selanjutnya, Jhon Locke mengakui bahwa dalam dunia luar ada material, dan ini juga menunjukkan sikap inkonsistensi (atau inconherent, dalam bahasa Hume) pemikiran jhon Locke. Menurut Ia pula, seluruh sisa pengetahuan. Kita peroleh dengan penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana itu. Ia memandang bahwa akal sebagai jenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil- hasil penginderaan tersebut. (Juhaya,2003).
Empirisme mempunyai beberapa bentuk. Bentuk sensasionalisme yang sempit mengatakan bahwa pengetahuaan itu rasa (sensation), disamping rasa tidak ada pengetahuan. Pda abad ke-18, Jhon Locke menganggap akal sebagai sepotong lilin, lilin itu akan berbentuk apa yang ditekankan kepadanya, dengan demikaan kal mencatat kesan-kesan yang datang dari luar. Empirisme yang lebih, baru menolak teori pengetahuan ini, pragmatisme sebagai suatu bentuk dari empirisme yang radikal, menganggap akal sebagai aktif dalam memilih dan mencetak pengalamannya, menurut kepentingan dan tugas- tugas dari organisme. (Titus et. All. 1984).
Salah satu tokoh utama dalam aliran ini adalah Francis Bacon (1210-1292 M), Ia merupakan filosof dan penulis asal Inggris, Francis Bacon mengatakan “Bila anda memulai dengan kepastian, pada akhirnya anda akan menemukan keraguan, tetapi bila anda puas dengan memulai keraguan, pada akhirnya anda akan menemukan kepastian. Mengetahui secara benar adalah mengetahui lewat penyebab- penyebab. Tak ada yang menakutkan, kecuali ketakutan itu sendiri dan perlu diketahui yang mendatangkan kenikmatan dan ketenanagn itu adalah kebaruan, bukannya kualitas. DIA pun mengatakan “memang benar, sedikit filsafat akan membawa orang ke ateisme, tetapi kedalaman kedalaman filsafat akan membimbing akal dan penalaran menuju agama”. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapaimelalui induksi. (Ahmad Syadali dan Mudzakir,1999).
David Hume (1711-1776 M),seorang kritikus dan ahli filsafat. Salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan- kesan (impressior) dan pengertia- pengertian atau ide- ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samara- samara dihasilkan denagn merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. IA juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakina dibandingakan kesimpulan logika atau kemestian sebab- akibat.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata, Karena merupakan gejala yang tertangkap dari panca indera. Hal ini membawa kita kepada dua masalah. Pertama, sekirannya kita mengetahui dua fakta yang nyata, rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenal kaitan antara kedua fakta tersebut ?. Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat yang menangkapnya.
Aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain :
1.Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil ? ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2.Indera menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin, ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3.objek yang menipu, contohnya adalah fatamorgana dan ilusi, jadi objek itu sebenarnay tidak sebagaimana ia ditangakap oleh indera, ia membohongi indera.
4.Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak dapat melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu tidak bisa memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Tokoh lainnya yang sahat consent dengan faham ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679 M), dan George Barkeley (1665-1753 M).

C. Intuisi
Selain kedua sumber pengetahuan diatas masih terdapat cara lain untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi, intuisi diadopsi dari bahasa Inggris intuition yang berasal dari bahasa latin intueri-intuitus (memandang), dari in tueri (melihat, menonton). (Lorens Bagus, 1996).
Sedangkan secara terminology diartikan sebagai berikut :
a.Pemahaman atau pengenalan sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan). Penglihatan langsung atau penangkapan (apehensi) kebenaran.
b.Daya (kemampuan untuk memiiki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio.
c.Pengetahuan atau isight (pemahaman) bawaan, naluriah tanpa mengguanakan panca indera, pengalaman biasa atau akal budi kita. (Lorens Bagus, 1996).

Menurut jujun, intuisi ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu, artinya sesorang dalam memikirkan suatu masalah dan tiba- tiba saja ia menemukan jawabannya tanpa adanya proses berfikir pada umumnya. (jujun,2003).
Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzche merupakan intelegensiyang palin tinggi.
Menurut kaum intuisionis, dengan intuisi kita mengetahui diri kita, mengetahui karakter, perasaan, dan motif orang lain,serat kita mengetahui, mengalami hakikat yang sebenarnya tentang waktu,gerak, dan aspek- aspek yang fundamental dalam jagad raya ini. Dengan intuisi kita dapat menangkap kenyatan- kenyatan yang konkret.
Intuisi manusia merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran. Jawaban dari permasalahan yang sedang dipikirkan melalui benak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai kesitu secara rasional. Pengetahuan intuitif ini dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapka benar tidaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitif saling bekerja sama dalam menentukan kebenaran.
Salah satu tokoh yang palig serius memperjuangkan konsep ini adalah Henri Bergson (1959-1941 M). Ia seorang filusuf dan pemenang nobel 1927, Ia mengatakan bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan. Intuisi yang sesungguhnya menurutnya adalah naluri (insting) yang menjadi kesadarn diri sendiri, dapat menuntun kita pada kehidupan yang dalam, jika intuisi dapat meluas, ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital.(Titus.et.all,1984).
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusu pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Intuisi merupakan pengetahuan khas manusia. Pengetahuan ini sebenarnya juga berada pada rasionalitas manusia pada umumnya, hanya itu bisa dibedakan dengan pengetahuan rasional yang menekankan pada sistematika dan kekuatan metodologi.
Ada beberapa pandangan terkait dengan intuisi, yaitu :
a. Bahwa terdapat intuisi dalam segala pengetahuan, George Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran kita tentang data- data yang langsung kita rasakan. W.E Hocking berkata bahwa mengetahui diri sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda- benda lain.34
. Intuisi hanya merupakan hasil tumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang pada masa lalu, Intuisi yang benar adalah pemendekan terhadap penetahuan yang seharusnya diungkapkan oleh indera dan pemikiran reflektif. Intuisi adalah hasil dari induksi dan deduksi dibawah sadar. Mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam bidangnya.
c. Intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal.
d. Intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung mengatasi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indera. Pengetahuan mistik ini telah diberi defenisi sebagai orang yang sadartentang kesadaran yang maha riil. (Titus.et.all,1984).

D. Wahyu
Term “wahyu” berasal dari bahasa al-Quran (Arab) yang berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Secara terminology wahyu diartikan dengan “jalan khusus yang digunakan Alloh SWT untuk berhubungan dengan rosul- rosulnya dan nabi- nabinya untuk menyampaikan kepada merekaberbagai macam hidayah dan ilmu “. (al-Aththar,1994).
Posisi wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi histories maupun noratif, posis wahyu itu demikian pnting dalam mengarahkan, membimbing dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dan tuhannya.
Wahyu Alloh berisikan pengetahuan baik mengenal kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiris maupun yang mencakup permasalahan yang transcendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia,dunia, dan segenap isisnya, seperti kehidupan di akhirat nanti dihari kemudian.
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan suatu konsep epistimologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistimologi relasional. Kosep ini jelas kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah puts. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalm satu kondisi histories tertentu (Zaid,2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yangmembagi wahyu kepada dua dimensi :the first massage di satu sisi, dan the second massage.
Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan. Pertama, intelek aktif, yaitu satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transedent antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al- aql mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transcendent dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al- aql munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.5
. Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Iintervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yangsering kali atau bahkan selalu turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitashistoris yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peprangan kelompok Ali dan Muawwiyah, yang kemudian diselewengkan dengan Muawwiyah sebagaibentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi bukti histories bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Quran, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.
Dengan demikian wahyu sebagai guidance bagi umat beragama, dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnay lahir untuk menjambatani manusia membongkar dimensi- dimensi filosofis yang tarkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan- penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofiswahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.

Kesimpulan
Manusia lahir di dunia bisa mulai mendengar, melihat dan merasakan objek- objek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan.Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas tterutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berfikir tentang materialitas, yakni kekuatan supranatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses- proses penciptaan dari tiada menjadi ada,dari ada menjadi tiada.
Berdasarkan uraian diatas, untuk mempermudah pembahasan dan memperluas wawasan, maka sumber-sumber pengetahuan dapat di klasifikasikan menjadi 4, yaitu :
1.Rasio (Akal)
Tokoh sentral dalam faham ini adalah Rene Descartes (1596- 1650),kaum rasionalis bukan mengingkari nilai- nilai yang diperoleh melalui pengalaman, melainkan pengalaman paling- paling dipandang sebagai jenis perangsang (stimulus) bagi pikiran. Para penganut rasionalis berkeyakinan bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide kita, dan bukannya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan, atau menunjuk pada kenyataan.
2.Empiris
Berbeda dengan anggapan rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, faham ini berpendapat bahwa indera atau pengalaman adalah sumber satu- satunya tau paling tidak sumber primer dari pengetahuan manusia, sehingga pengenalan inderwi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
3. Intuisi
Selain kedua sumber pengetahuan diatas masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan yaitu intuisi.
Menurut jujun,intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu artinya seseorang dalam memikirkan suatu masalah dan tiba- tiba saja ia menemukan jawabannya tanpa adanya proses pemikiran yang beliku-liku sebagaimana proses berfikir pada umumnya.
4. Wahyu
Wahyu berasal dari bahasa Arab yaitu pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Posisi wahyu dalam islam sangatlah sentral. Berdasarkan histories maupun normative, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasr relasi antara manusia dengan realitas transcendent yang diyakininya.Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.

Daftar Pustaka
Suria Sumantri, jujun. 1984. filsafat ilmu sebagai pengantar popular. Jakarta :PT Total Grafika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika materiil (filsafat ilmu pengetahuan).Jakarta: Rineka Cipta.
Zainudin, M. 2003.Filsafat Ilmu. Jakarta: Bayu Media Publishing
Bakhtiar, Amsal. 2007. filsafat ilmu. Jakata: PT Raja Grafindo.
Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Jogyakarta: Ar-Ruz Media.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu. Jogjakarata: Belukar.
Murbandono, L. 2004. Pemikir Besar Dunia Ucapan dan kebijaksanaan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Ghofur,Abd.2007. Filsafat Ilmu. Malang.

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Sejarah

A. Sejarah Perkembangan Ilmu
Perkembangan ilmu seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak melainkan secara bertahap, karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau kita harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara preodik, karena setiap periode menampilkan cirri khas tertentu dalam perkembangan ilmu.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu pada peradapan Yunani. Di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas tentang sejarah perkembangan ilmu yang dimulai dari periode Yunani sampai zaman kontemporer.
1. Zaman Pra Yunani Kuno
Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan oleh sebab itu zaman pra Yunani Kuno disebut dengan zaman batu tua, zaman batu muda, dan zaman logam yang berkisar antara 4 (empat) juta tahun sampai 20.000 tahun.
a. Zaman batu tua / zaman pra sejarah/masyarakat purba
Masa dari zaman batu ini adalah antara 4 (empat) juta tahun sebalum masehi sampai kira-kira 20.000 juta tahun sebelum masehi. Alat-alat yang ditemukan pada zaman ini adalah sebagai berikut :
Alat-alat dari batu dan tulang
Tulang belulang hewan
Sisa-sisa dari beberapa tanaman
Gambar dalam gua-gua
Tempat-tempat penguburan
Tulang belulang manusia purba
Bukti peninggalan ini menunjukkan tiga sifat yaitu :
Adanya konsep tentang alat untuk kegiatan manusia
Konsep tersebut menjelma menjadi benda-benda yang dipakai oleh sekelompok manusia dan menunjukkan adanya perubahan
Perubahan itu ada hubungannya dengan perbaikan fungsi dan perbaikan bahan
b. Zaman batu muda/zaman sejarah (peradapan dan pertanian)
Kemampuan menulis dan membaca
Kemampuam berhitung
c. Zaman logam (kebudayaan klasik)
Penemuan logam yang kemudian menjadi alat perunggu, baja, dan perluasan yang sangat tinggi harganya, kemudian antara abad ke-15 sampai 6 SM manusia telah menemukan besi, tembaga, dan perak untuk berbagai peralatan. Abad ke-15 SM peralatan besi dipergunakan pertama kali di Iraq, tidak di Eropa atau Tiongkok. (Brower, 1982, hlm, 6)
Secara singkat zaman purba ditandai oleh lima macam kemampuan sebagai berikut :
a.Know How dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman
b.Pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman itu diterima sebagai fakta
c.Kemampuan menemukan abjad dan system bilangan alam sudah menampakan perkembangan pemikiran manusia ketingkat abstraksi
d.Kemampuan menulis, berhitung, dan menyusun kalender yang didasarkan pada sintesis terhadap hasil abstraksi yang dilakukan
e.Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa fisis yang sebelumnya pernah terjadi seperti gerhana bulan. (Rizal Muntazir, 1996)
Pada abad ke-6 SM muncul/ lahirnya filsafat. Timbulnya filsafat ditempat itu disebut suatu peristiwa ajaib (the greek miracle), ada beberapa factor yang sudah mendahuluinya dan seakan-akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. K. Berteus menyebutkan ada tiga factor yaitu sebagai berikut :
a.Pada bangsa Yunani seperti juga pada bangsa-bangsa sekitarnya terdapat suatu mitologi yang kaya serta luas
b.Kesusastraan Yunani
c.Pengaruh ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah terdapat di Timur Kuno.

2. Zaman Yunani Kuno (abad 6 SM-6 M)
Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman kemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat karena bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi. Pada dasarnya kelahiran filsafat tidak dirintis oleh dunia Timur. Sudah ditegaskan oleh Diogenes Laertius ditahun 200 yang kemudian diperkuat oleh Edwar Zeller.
Pada saat kelahirannya ilmu yang identik dengan filsafat mempunyai corak mitologik dengan segala sesuatu yang ada yang merugikan ada diterangkan. Berbagai macam kosmogoni menyelesaikan bagaimana kosmos dengan berbagai aturannya terjadi, dan dengan theoginya diterangkan peranan para Dewa yang merupakan unsur penentu terhadap segala sesuatu yang ada.
Bersamaan dengan mulai pudarnya kekuasaan Romawi semua itu merupakan isyarat akan datangnya tahapan baru yaitu filsafat yang harus mengabdi pada agama. Filsuf besar pada waktu itu adalah Agustinus dan Thomas Aquinus telah memberi ciri khas pada filsafat abad pertengahan.
Filsafat Yunani Kuno yang sekuler telah dicairkan dari autinominya dengan doktrin gerejani, sehingga filsafat berubah menjadi corak teologik Biara tidak lagi menjadi pusat kegiatan agama tetapi juga menjadi tempat kegiatan intelektual.
2.1. Zaman kemasan filsafat Yunani
Beberapa filsuf pada masa ini antara lain :
a.Thales (pendapatnya tentang alam semesta) ia adalah filsuf pertama Yunani yang lahir di Miletus (624-548 SM) Thales berpendapat bahwa Arche (berupa air) merupakan prinsip dan dasar pertama dari segala sesuatu dan karenanya filsafatnya dinamakan filsafat alam.
b.Anaqimander menurutnya didalam arche masih terkumpul sifat-sifat yang berlawanan : panas dan dingin, kering dan basah, di dalam suatu kesatuan yang tidak tertentu azaz ini dinamakan apeiro (yang tidak tertentu).
c.Anaximenes menurutnya arche itu udara bahwa di dalam hawa terlaksanalah kesatuan dan sifat-sifat yang berlawanan : bahwa ada dingin atau panas tergantung dari pada meniupkannya dari mulut.
d.Phitagoras (bentuk dan bilangan) lahir di pulau Samos 580-500 SM menurutnya arche itu bilangan dan asas segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan.
e.Herakleitos ia lahir di Ephesus 540-473 SM menurutnya arche itu api ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalir.
f.Parmenedes berpandangan bahwa melihat realitas itu tetap, tidak berubah, arti penting Permenedes adalah gagasannya tentang “ada” ia merupakan filsuf pertama yang mempraktekkan cabang filsafat yang dikenal dikemudian hari dengan “metafisika”. Permenedes juga mengatakan bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak. (Losiyo dan Yuwono, 1985, hlm, 52)
2.2. Masa Helinistis dan Romawi
Masa Helinistis yaitu masa atau kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani saja tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexsander Agung, pada saat ini muncul beberapa aliran sebagai berikut :
a.Stoisisme menurut paham ini jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos.
b.Epikurisme menurut paham ini segala-galanya terdiri atas atom-atom yang senantiasa bergerak
c.Eaklektisisme menurut paham ini suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsure.
d.Neo Platonisme paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat plato tokohnya adalah plotinus.
3. Zaman Abad Pertengahan (6-16 m)
Zaman pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Zaman pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang khas karena dalam abad-abad ini perkembangan alam Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2006, hlm, 66-67)
Pada abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya, perbedaan itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang diajarkan oleh nabi Isa as.
Pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu. (Sujiyono, 2007, hlm, 85)
Manusia pada abad pertengahan merupakan kesatuan sebagai manusia. Mereka mempersoalkan “mengapanya” segala sesuatu. Tetapi di samping itu makin jelas juga bahwa manusia abad pertengahan mempunyai cara yang “tersendiri” dalam mencari sebab-sebab yang terakhir dari segala sesuatu. Adapun di dalam usahanya menerangkan tentang :
Cara berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
Berfilsafat di lingkungan ajaran Aristoteles
Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan lain-lain.
Tiap-tiap alasan yang dikemukakan ini mengandung sedikit kebenaran tetapi tidak sampai pada hakekatnya. (Epping O.F.M dan Stockum Juntak, 1983, hlm 126-127) Filsafat pada abad pertengahan mengalami beberapa periode sebagai berikut :
a.Periode Patristik
Patristik berasal dari kata latin “patres” yang berarti bapa-bapa Gereja ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen dan periode ini mengalami dua tahap, pertama : Permulaan agama Kristen setelah mengalami berbagai kesukaran terutama mengenai filsafat Yunani maka agama Kristen memantapkan diri. Ke luar memperkuat Gereja dan ke dalam menetapkan dogma-dogma. Kedua : Filsafat Augustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada masa patristik. Augustinus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan (Endang Daruni Asdi, 1978, hlm, 1-2).
b.Periode Skolastik
Aslinya “skolastik” itu adalah sebuah kata sifat yang berarti “sekools” (berbau sekolah atau aliran) periode skolastik berlangsung dari tahun 800-1500 M. periode ini dibagi menjadi tiga tahap :
Periode skolastik awal (abad ke 9-12)
Ditandai oleh pembentukan metode-metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universialia. Periode skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata berfilsafat agama, hal ini merupakan bagian dari pada kebudayaan abad pertengahan yang bersifat agama.
Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)
Periode yang dalam mengabdi pada theology atau dalam bekerja sama dengan wahyu Tuhan berusaha secara rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai “berpikir” dan “sifat ada”, “kejasmanian” dan “kerohanian”, ”baik dan buruk”.
Berdasarkan rumusan dan pengertian secara demikian maka menurut Zeller dan Carra De Vaux lalu juga dapat dikatakan adanya skolastik Yahudi dan skolastik arab. Periode ini juga ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi. Puncak perkembangan pada Thomas Aquinus.
Periode skolastik akhir (abad ke-14-15)
Periode yang dimana sebagai system dalam mencapai semua pengetahuan kodrat dimasukkan dalam syuthesu yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
Periode ini ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang kearah nominalisme, ialah aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal, pengertian umum hanya momen yang tidak mempunyai nilai-nilaikebenaran yang objektif (Endang Darni asdi, 1978, hlm 3 ).
4. Zaman Renaissance (abad 14-16 M)
Zaman renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Pemikiran dari zaman pertengahan ke zaman modern juga ditandai oleh suatu era yang disebut dengan “Renaissance” . Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern dan yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2006, hlm, 69).
Manusia pada zaman ini adaah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan campur tangan ilahi. Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan adalah manusia bebas seperti yang ada pada zaman Yunani Kuno.
Pada zaman renaissance ini orang-orang barat mulai berfikir secara baru dan secara berangsur-angsur. Melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah (mengungkung) kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada zaman renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembangan pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti Roger bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo Galilei, berikut cuplikan pemikiran para filsuf tersebut :
a.Roger Bacon berpendapat bahwa pengalaman (empiris) menjadi landasan utama bagi awal dari ujian akhir bagi semua ilmu pemgetahuan. Matimateka merupakan syarat utama untuk mengelola semua ilmu pengetahuan. Bacon adalah pemikir yang seolah-olah meloncat keluar dari zamannya dengan menjadi perintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “Knowledgeis power“ (pengetahuan adalah kekuasaan) (Surajiw, 2007, hlm, 86).
b.Copernicus mengatakan bahwa bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisisme) pendapat ini berlawanan dari pendapat umum yang berasal dari Hipparchus dan Prolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (goesentrisme) Copernicus adalah seorang tokoh Gerejani yang ortodoks. Teori Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta terutama astronomi.
c.Johannes Keppler menemukan tiga buah hokum yang melengkapi penyelidikan Brahe sebelumnya yaitu :
Bahwa gerak benda angkasa itu ternyata bukan bergerak mengikuti lintasan circle namun gerak itu mengikuti elips. Orbit semua planet berbentuk elips.
Dalam waktu yang sama garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang yang luasnya sama.
Dalam penghitungan matematika terbukti bahwa bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah x dan y sedangkan waktu untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q maka P2 :Q2 = X3 : Y3.
Galileo Galilei membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati beberapa peristiwa angkasan secara langsung.ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang astronomi. Ia melihat bahwa planet venus dan marcurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari.
5. Zaman Modern(16-19 M)
Pemikiran filsafat modern bermula di Eropa sejak pertengahan abad 15 seiring dengan kebangkitan Eropa sampai pada akhir abad 19. filsafat pada periode modern mengambil dua bentuk yaitu filsafat “Rasionalism” yang didasarkan pada akal dan filsafat “Empirism” yang didasarkan pada panca indera, selanjutnya filsafat modern mencakup enam filsafat sebagai berikut :
a.Filsafat rasionalism
Aliran ini menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal dan dipahami melaluai intuisi bukan panc indera dan metodenya menggunakan metode deduktif, diantara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut :
Rene Deskrates (w. 1650) dia menyatakan bahwa ada tiga esensi yaitu akal, materi, dan Tuhan, dan dia telah meletakkan dasar-dasar untuk dirinya moral filsafat yang dianggap dapat membawa dirinya pada kebahagiaan sambil bersandar pad agama yang di dalamnya membahas tentang kebesaran Tuhan.
Baruch Benedict Spinoza (w. 1677) filsafat Spinoza mempunyai cirri sebagai filsafat Monism (ke satu an) sedangkan esensi sesuatu dalam segala sesuatu dia menyatakan bahwa semua hakekat sebenarnya adalah sifat dari esensi yang satu ini.
Charles Daewin dia dikenal sebagai penganut teori evolusi yang panatik. Darwin memyatakan bahwa perkembangan yang terjadi pada makhluk di bumi terjadi karena seleksi alam. Teorinya yang terkenal adalah straggle for life (perjuangan untuk hidup).
b. Filsafat Empirism
Aliran ini menyatakan bahwa panca indera dan eksperiman adalah sumber pengetahuan, oleh karena itu mereka menggunakan metode induktif para tokohnya adalah sebagai berikut :
John Locke (w. 1704) dia menyatakan bahwa pengetahuan datang dari persepsi individu dan bahwa eksperimen adalah sumber semua pemikira kita.
George Barkley (w. 1753) dia menyatakan bahwa tidak ada dunia fisikdan bahwa fenomena alam materi tunduk pada fenomena alam pikiran. Segala sesuatu tidak ada kecuali jika sesuatu itu dapat dipahami alam pikiran atau jiwa.
Dafid Hume (w. 1716) dia menyatakan bahwa pengetahuan datang melalui eksperimen dan analisis.
c. Filsafat Pencerahan
Filsafat ini mengarahkan perhatiannya pada pengetahuan ilmiah dan menyingkap tata aturan yang membatasi perilaku manusia. Aliran filsafat ini terbagi menjadi beberapa aliran di antaranya sebagai berikut ;
Filsafat Romantism
Tokohnya adalah Jean Jacques Rousseu (w. 1778) yang menekankan perlu adanya kebebasan dan persamaan, dia menyatakan bahwa perasaan mendahului kecerdasan dan apa yang kita rasa benar adalah benar.
Filsafat Utilitarianism
Tokohnya adalah Germey Bentham (w. 1832) yang menekankan bahwa semua perbuatan dianggap bermoral selama dia mendatangkan kebahagiaan. Filsafat ini lebih dekat pada konsep yang menyatakan bahwa moral tunduk pada manfaat yang dapat dipetik oleh individu.
d. Filsafat Kontianism
Tokohnya adalah Immanuel Khan (w. 1804) yang menyatakan bahwa pengetahuan bersumber dari dua sumber yaitu pemahaman dan perasaan, dia menyatakan bahwa kesadaran pemahaman dan perasaan dapat memberikan subjak pemikiran.

e. Filsafat Idealism
Tokohnya adalah George Wilhem Friedich Hegel (w. 1831) filsafat ini menyatakan bahwa penafsiran kebenaran dapat dilakukan dengan jiwa atau akal yang disandarkan pada dasar-dasar metafisika sebagaimana pendapat Plato yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran mutlak. Tujuan filsafat ini adalah mencari kebenaran yang membahas tentang ilmu-ilmu alam.
f. Filsafat Materialism
Tokoh utamanya adalah Karl Marx (w. 1883) filsafat ini adaah filsafat realita bukan metafisika yang melihat eksistensi alam dan manusia dengan pandangan realita bukan analisa atau spiritual, dalam filsafat ini materi menjadi dasar pengetahuan. Filsafat materialism terbagi menjadi dua yaitu :
Filsafat Sosialisme dalam marxisme sosialisme adalah tahap transisi antara kapitalisme dan komunisme di mana dalam sosialisme semua barang dan upah dibagikan tidak sama sesuai dengan pekerjaan individu.
Filsafat Komunisme, komunisme dianggap sebagai tahap terakhir dari perkembangan masyarakat menurut teori Marxism di mana dalam komunisme kedudukan Negara menipis sedamgkan barang dan upah dibagikan secara merata untuk setiap individu. Tujuan mereka adalah menciptakan masyarakat tanpa Negara.
6. Zaman Konterporer (Abad ke-20-Sekarang)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikiran abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa, ungkapan filsafat yang membingungkan.
Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus sebagaiman yang diperbuat para filsuf sebelumnya. Melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidak pahaman terhadap bahasa logika.
Perkembangan pada abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat dan kebanyakan dari aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern seperti :


1.Filsafat Fenomenalogi
Tokohnya adalah Edmant Husserl (w. 1938) dan franz Brentano (w. 1917) tujuan Husserl adalah untuk mendirikan filsafat yang dibangun di atas dasar-dasar mutlak dengan filsafatnya melalui teori “pelangsung” yang subjeknya adalah kesadaran yang berdiri sendiri, dia tidak memperhatikan kecuali hal-hal yang mucul dalam alam sadar.
Hal ini memunculkn anggapan bahwa alam yang tampak di sekitar kita bukanlah alam eksistensi (alam wujud). Dengan demikian dalam filsafat ini pengetahuan dimulai dari esensi dengan sifat-sifatnya yang tetap bujan dengan eksistensinya.
2. Filsafat Eksitensialisme
Aliran filsafat eksistensialisme diwakili oleh banyak tokoh di antaranya :
Gabrial marcel (w. 1973) filsafatnya tidak mengekui adanya metafisika karena yang dimaksud filsafat menurutyna adalah gambaran teratur yang menunjukkan eksistensi manusia dari sisi kesadaran.
Jean Paul Sartre (w. 1969) menurutnya eksistensi alam mendahului esensinya, dia juga menyatakan bahwa manusia dalam kondisi benar-benar bebas dan dialah yang membuat kebebasan ini. Dia tidak percaya dengan munculnya moral terlebih dahulu yaitu bahwa tidak ada dasar-dasar aturan akhlak atau hokum berharga yang muncul dengan sendirinya dalam segala hal yang diperbuatnya dan tidak terkait dengan apapun karena manusialah yang menciptakan kebebasan untuk dirinya.
3. filsafat Linguistik
Aliran ini didirikan oleh Ludwing Wittgenstein (1889-1951) dasar pertama filsafat ini mengatakan bahwa filsafat adalah suatu aktikfitas bukan suatu substansi hakiki bahka perhatiannya adalah “perhatian bahasa” yang dibangun atas dasar pengujian kebenaran.
Jadi filsafat ini adalah hanya sekedar memecahkan masalah melalui bahasa. Tujuannya adalah untuk meletakkan segala sesuatu di hadapan kita namun bukan untuk ditafsirkan. Jadi selama segala sesuatunya sudah jelas dia tidak perlu dijelaskan lagi.



4. Filsafat Logika Positif
Tokohyna adalah Alfred Jeles Ayer dia menentang habis filsafat metafisika dan menyatakan bahwa para filsuf metafisika sama dengan para penyair yang berbicara omong kosong.
5. Filsafat Pragmatis
Pragmatis berasal dari bahasa Yunani “Mpayau” yang berarti aksi, filsafat ini dianggap sebagai kontribusi pemikiran amerika pertama dalam filsafat barat. Filsafat ini didirikan oleh tiga orang filsuf yaitu : Carles S. Pairce (w. 1914), William James (w. 1910), dan John Dewey (w. 1952). Filsafat ini sejalan dengan Maxisme dari segi mengaitkan filsafat dengan kehidupan masyarakat dan ingin menjadikan filsafat sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Namun sayanganya filsafat ini mewakili masyarakat kapitalis yang berusaha menambah kuantitas kapitalis.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwasannya kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat yang terdiri dari beberapa periode yaitu :
a.Zaman Pra Yunani Kuno : Pada masa ini manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan oleh sebab itu zaman pra Yunani Kuno disebut dengan zaman batu tua, zaman batu muda, dan zaman logam yang berkisar antara 4 (empat) juta tahun sampai 20.000 tahun, yang terdiri dari Zaman batu tua / zaman pra sejarah/masyarakat purba, Zaman batu muda/zaman sejarah (peradapan dan pertanian), dan Zaman logam (kebudayaan klasik).
b.Zaman Yunani Kuno : Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman kemasan filsafat karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat karena bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi, yang terdiri dari Zaman kemasan filsafat Yunani di antara tokohnya adalah Thales, Anaqimander, Anaximenes, Phitagoras, Herakleitos, dan Parmenedes dan Masa Helinistis dan Romawi.
c.Zaman Pertengahan : Pada abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya, perbedaan itu terutama terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama Kristen yang diajarkan oleh nabi Isa as. Pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu, yang terdiri dari Periode Patristik dan Periode Skolastik.


d.Zaman Renaissance : Zaman Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern dan yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka telah melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah (mengungkung) kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan di antara tokohnya adalah Roger Bacon, Copernicus, dan Johannes Keppler.
e.Zaman Modern : Pemikiran filsafat modern bermula di Eropa sejak pertengahan abad 15 seiring dengan kebangkitan Eropa sampai pada akhir abad 19. filsafat pada periode modern mengambil dua bentuk yaitu filsafat “Rasionalism” yang didasarkan pada akal dan filsafat “Empirism” yang didasarkan pada panca indera, pada zaman ini mencakup beberapa filsafat yaitu Filsafat rasionalis tokohnya Rene Deskrates, Baruch Benedict Spinoza, dan Charles Daewin, Filsafat Empirism tokohnya John Locke, George Barkley, dan Dafid Hume, Filsafat Pencerahan yang terdiri dari filsafat Romantism tokohyna adalah Jean Jacques Rousseu dan filsafat Utilitarianism tokohnya adalah Germey Bentham, Filsafat Kontianism tokohnya adalah Immanuel Khan, Filsafat Idealism tokohnya adalah George Wilhem Friedich Hegel, dan Filsafat Materialism tokoh utamanya adalah Karl Marx.
f. Zaman Konterporer : Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikiran abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa, ungkapan filsafat yang membingungkan. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus sebagaiman yang diperbuat para filsuf sebelumnya. Melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidak pahaman terhadap bahasa logika, yang terdiri dari beberapa filsafat yaitu Filsafat Fenomenalogi tokohnya adalah Edmant Husserl, Filsafat Eksitensialisme Gabrial marcel dan Jean Paul Sartre, filsafat Linguistik tokohnya adalah Ludwing Wittgenstein, Filsafat Logika Positif tokohyna adalah Alfred Jeles Ayer, dan Filsafat Pragmatis tokohnya adalah Carles S. Pairce, William James dan John Dewey .
Demikin sekilas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai dari sejak zaman pra Yunani Kuno hingga zaman Kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA


Epping, dkk. Filsafat Ensie. Bandung: Jemmars Bandung. 1983. Cet. I.
Mustansyir, Rizal, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Cet. V.
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2000. Cet. I.
Surajio. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007. Cet. I.
Suriasumantri., Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2003. Cet. VI.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005. Cet. XIII.
Tamburaka, Rustam. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah-Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1999. Cet. I.
Ghofur, Abdul. 2007. Dikta Filsafat Ilmu.