Minggu, 14 September 2008

Aliran Mu'tazilah dalam Kajian Islam

ASAL USUL SEBUTAN MU’TAZILAH

BAB I

PENDAHULUAN


I.1. Latar Belakang Masalah

Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan murni. Adapun sumber-sumber teologi Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis-hadis, yang menjadi sumber utama kemudian dipersubur filsafat Yunani dan peradaban-peradaban lain.

Tentu, pembaca tidak asing lagi dengan aliran Teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam yaitu aliran Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah salah satu aliran islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. yang didirikan oleh Wasil bin ‘Ata pada tahun 100 M/718 M. Sampai sekarangpun pemikirannya banyak di pakai oleh para umat muslim di berbagai Negara.

Adapun uraian yang lebih lengkapnya dapat di baca dalam makalah ini yang diharapkan mampu menambah wawasan bagi pembaca.


I.2. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah dan asal-usul sebutan Mu’tazilah?

  2. Siapa tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah dan apa pemikirannya?

  3. Bagaimana ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah?


I.3. Tujuan

Persoalan pertama, untuk memahami perkembangan sejarah dan asal-usul penyebutan Mu’tazilah yang banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat pada saat itu. Selanjutnya, bertujuan untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh aliran Mu;tazilah, baik dari aliran Mu’tazilah Basrah maupun aliran Mu’tazilah Bagdad. Dan dari tokoh-tokoh tersebut, banyak dihasilkan pemikiran-pemikiran baru yang menjadi doktrin aliran Mu’tazilah. Dan persoalan yang terakhir adalah untuk memahami ajaran-ajaran pokok dari aliran Mu’tazilah. Yang diharapkan mampu menambah ketakwaan kita pada Allah SWT.

BAB II

PEMBAHASAN


II.1. Sejarah dan Asal Usul Sebutan Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah merupakan aliran Teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang berhak mengetahui filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama da sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Mu’tazilah, bukan oleh mereka lazim disebut filosof-filosof Islam.

Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijriah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam di kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak mengahancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yangmenamakan dirinya Islam ataupun tidak. Sebagaimana diketahui, sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam dan hidup di bawah naungannya.1

Mu’tazilah adalah salah satu aliran islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal yang didirikan oleh Wasil bin ‘Ata pada tahun 100 M/718 M. Mu’tazilah sering disebut aliran rasionalis islam karena pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang dari dalil ‘aqly (akal) dan lebih bersifat filosofis. Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘ilm kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Ata serta temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah, Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir, sedang kaum Murjiah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan : “saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid. Di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini, Hasan al-Basri mengatakan, “ Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘ana)” dengan demikian ia beserta teman-temannya, kata Al Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.2

Riwayat tentang asal usul sebutan Mu’tazilah ada tiga, yang kesemuanya berkisar sekitar arti kata-kata I’tazala (memisahkan diri, menjauhkan diri, menyalahi pendapat orang lain).

  1. Disebut mu’tazilah karena Wasil bin’Ata dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (I’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat di antara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut “orang mu’tazilah” (orang yang memisahkan diri – memisahkan diri).

  2. Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murjiah mengatakan bahwa pembuat dosa besar masih termasuk orang mu’min. menurut golongan Khawarij azariqah, ia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang munafik. Datanglah Wasil bin ‘Ata untuk mengatakan bahwa pembuat dosa besar bukan mu’min, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab penyebutan adalah Ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedang menurut riwayat yang pertama sebab penyebutan adalah lahiriyah, yaitu pemisahan phisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).

  3. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang nu’min dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan riwayat-riwayat sebelumnya (kedua) ialah kalau menurut riwayat kedua ke Mu’tazilahan menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang yang sebelumnya, sedang menurut riwayat yang ketiga, ke Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si pembuat dosa itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian (yaitu pembuat dosa besar menyendiri dari orang mu’min dan orang-orang kafir).

Dari ketiga riwayat tersebut dapatlah ditarik kesimpulan yaitu :

  • Peristiwa timbulnya aliran Mu’tazilah ialah sekitar Hasan Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil din ‘ata dan ‘Amr bin Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728 M).

  • Aliran Mu’tazilah timbul karena persoalan agama semata-mata.3

Menurut Ahmad Amin4, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan Basri, kurang lebih 100 Tahun. Penyebutan “Mu’tazilah” untuk Wasil bin ‘Ata, Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama. Suatu hal yang sukar diterima akal, kalau sebutan Mu’tazilah sebagai suatu aliran yang mempunyai corak pemikiran dan metode tertentu, terjadi hanya karena perpindahan tempat yang dilakukan Wasil dari sudut mesjid ke sudut yang lain. Dalam pada riwayat yang pertama masih disangsikan kebenarannya, karena menurut satu riwayat, yang mempunyai pengajian itu Qatadah, bukan Hasan Basri, menurut riwayat lain lagi, yang memisahkan diri hanya Wasil bin ’Ata saja atau ‘Amr bin Ubaid saja.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang mengatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak saat itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.5

Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.6 Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act , yakni manusia itu bebas berkenemdak dan bebas berbuat. Selain tu, mereka menamainya juga Al-Mu’attilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.7

Di antara lawan-lawan Islam dari dalam ialah golongan Rafidah yaitu golongan Syiah ekstrim yang kemasukan unsure-unsur kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran agama Islam, seperti kepercayaan agama Manu, aliran Agnostik yang pada waktu itu tersebar luas di Kufah dan Basrah. Termasuk lawan Islam juga dari golongan Tasawuf-Hulu (ikarnasi) yang mempercayai bertempatnya Tuhan pada Manusia. Aliran Mu’tazilah menjawab, bahwa Tuhan tidak mungkin mengambil tempat apapun juga. Dalam keadaan demikian muncullah aliran Mu’tazilah yang kemudian berkembang dengan pesatnya, serta mempunyai metode dan paham sendiri.8

Setelah beberapa tahun lamanya aliran Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, terutam pada masa kholifah-kholifah al-Ma’mun. al-Mu’tasim, dan al-Watsiq. Akhirnya mereka mengalami kemunduran. Kemunduran ini adalah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak mempertahankan kebebasan berfikir, tetapi sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti faham mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika Ma’mun (wafat 218 H) menjadi kholifah, dimana mereka dapat memaksakan faham dan keyakinannya kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan al-Ma’mun, yang telah mengakinatkan timbulnya suatu perisr\tiwa, terkenal dengan nama “peristiwa Al-Qur’an”, apakah azal atau non azal, dan menurut aliran Mu’tazilah Al-Qur’an itu non azali.

Persoalan ini memecah kaum muslimin menjadi dua golongan yaitu golongan yang memuja kekuatan akal pikiran dan menundukkan nas-nas agama kepada ketentuannya, dan golongan lain yang berpegang teguh keepada bumyi nas-nas al-Qur’an dan Hadis-hadis semata-mata menganggap tiap-tiap yang baru itu bid’ah dan kafir. Pada masa selanjutnya aliran Mu’tazilah mengalami keterpurukan, kemunduran dan pemikirannyapun dapat dikalahkan oleh aliran al-Asy’ari.


II.2. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah dan Pemikirannya

Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Perbedaan antara kedua aliran Mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil. Kota basrah lebih dahulu didirikan dari pada kota Bagdad dan lebih dulu mengenal paduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Dalam hal itu, meskipun Bagdad kota terbelakang didirikan, namun oleh Khalifah Abbasiah dijadikan ibu kota kekalifahan. Menurut al-Mallati, wasil mempunyai dua murid penting yang masing-masing bernama Bisyr Ibn sa’id dan Abu ‘Usman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, abu al-Huzail al-‘Allaf dan Bisyr ibn Mu’tamir menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri kemudian menjadi pemimpin Mu’tazilah cabang Baghdad.

Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah Basrah antara lain : Wasil bin ‘Ata, al ‘Allaf, an Nazzham dan al Jubbai. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah Baghdad antara lain Basyr bin al Mu’tamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi abdul Jabar dan az Zamachsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas urut-urutan geografis dan kronologis.


  • Wasil bin ‘Ata (80-131 H/699-748 M)

Nama lengkapnya Wasil bin ‘Ata al Ghazzal. Ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan menjadi pemimpin/kepala yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip aliran Mu’tazilah.9

Wasil bin ‘Ata adalah orang yang pertama meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah, ada tiga pokok ajaran yang dicetuskan, yaitu faham al-manzilah baina manzilataini, faham qodariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Qodariyah), dan faham peniadaan sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah baina manzilataini dan peniadaan sifat Tuhan


  • Al-‘Allaf (135-226 H/752-840 M)

Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin al Huzzail al ‘Allaf. Sebutan al ‘Allaf diperolehnya karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan binatang (‘alaf-makanan binatang). Ia berguru pada Usman at-Tawil, murid Wasil.10

Beliau menguasahi filsafat, boleh jadi pertaliannya dengan filsafat itulah yang menyebabkan dia sanggup mengatur dan menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya.11

Ia banyak mengetahui falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran Mu’tazilah yang bercork filsafat antara lain ia membuat uraian mengenai pengartian nafy al-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha mengetahui dengan pengetahuannya,dan pengetahuan ini adalah dzat Nya, bukan sifat Nya, Tuhan Maha kuasa dengan kekuasaanya dan kekuasaan Nya adalah dzat Nya, bukan sifat Nya, demikian seterusnya. Penejelasan ini dinaksudkan oleh abu Huzail untuk yang qoaim selain Tuhan, karena jika dikatakan ada sifat (dalam arti yang melekat diluar dzat Allah), berarti sifatnya itu qodim dengan demikian ada banyak yang qodim. Ini akan membawa pada kemusyrikan. Ajaran yang lain adalah bahwa Allah menganugrahkan akal pada manusia agar digunakan unuk membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dengan pengetahuannya tentang yang buruk, manusia wajib mengajarkan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik pada Tuhan. Selain itu ia juga melahirkan dari ajaran ash-salah wa al-ashlah.

  • An Nazzam (wafat 231 H/845 M)

Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzam, tokoh Mu’tazilah yang terkemuka, lancer berbicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ia mula-mula berguru pada Abul Huzail al-‘Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, terkenal dengan namanya, dan pada usia 36 tahun ia meninggal dunia.12

An Nazzam,pendapatnya yang terpenting adalah menegnai keadilan Tuhan. Karean Tuhan itu Maha adil, ia tidak berkuasa untuk berlaku dzalim. Dalam hal ini ia berpendapat lebih jauh dari gurunya, Al-allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat dzolim kepada hambanya. An Nazzam menegaskan hal itu bukan hanya hal yang mustahil, bahakanTuhan tidak tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat dzolim. Ia berpendapat bahwa perbuatan dzolim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mu’jizat Al-Qur’an. Menurutnya mu’jizat Al-Qur’an terletak pada kandungannya bukan pada uslubnya (gaya bahasa) dan balagohnya (retorika). Ia juga menjelaskan tentang kalam Alalh SWT. Kalam adalah segala sesuatu yang tersusun dari huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.


  • Al-Jubbai (wafat 303 H/915 M)

Nama lengkapnya adalah Aby ali Muhammad bin Ali al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid dari as-Syahham (wafat 267 H/885 M), tokoh Mu’tazilah juga. Al-Jubbai dan anaknya, yaitu Abu Hasyim al-Jubbai, mencerminkan akhir masa kejayaan aliran Mu’tazilah.13

Sebutan al-Jubbai diambil dari nama satu tempat, yaitu (Jubba, di propinsi Chuzestan-Iran), tempat kelahirannya. Al-Jubbai adalah guru imam al-asy’ari, tokoh utama aliran ahlussunah.14

Pendapatnya yang masyhur adalah tentang kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia dan daya akal tentang kalam Allah SWT. Ia sependapat denganAn Nazzam mengenai sifat Allah SWT. Ia menerangkan, bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat’ kalu dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak dan mengetahui, berarti ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensinya, bukan dengan sifatnya. Lalu tentang kewajiban Tuhan, ia membaginya dalam dua kelompok, yakni kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah aqliyah) dan kewajiban yang diketahui melalui ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iyyah). Adapaun daya akalnya manusia dapat mengetahui adanya Tuhan serta kewajiban bersyukur kepada Nya. Akal manusia selanjutnya dapat mengetahui kewajiban berbuat yang baiak dan meninggalkan yang buruk.


  • Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)

Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah Bagdad. Pandangan-pandangannya mengenai kasusteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al-Jahiz dakam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaanbahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.15

Bisyr bin al-Mu’tamir ajarannya yang penting menyangkut pertanggung jawaban perbuatan manusia. Anak kecil menurutnya tidak dimintai pertanggung jawabannya atas perbuatannya di akherat kelak karena ia belum mukallaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi berbuar dosa besar, akan mendapat siksa gandameskipun ia telah bertaubat atas dosa besarnya yang terdahulu.


  • Al-Chayyat (wafat 300 H/912 M)

Ia adalah Abu al-Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Bagdad, dan pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk embela alira Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran akiran Mu’tazilah.16

Al-Chayyat memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka Mu’tazilah yag lainnya tentang peniadaansifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa jika Tuuhan dikataka berkehendak, kehendak Tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada dzat Tuhan dan bukan pula yang diwujudkannya melalui dzatnya. Jadi kehendak Tuhan itu bukan dza Nya dan yang terlebih lagi bukan sifatnya melainkan di interpretasikan dengan Tuhan yang mengetahui dan berkuasa mewujudkan dan berkuasa mewujudkan perbuatannya sesuai dengan pengetahuannya.


  • Al-Qadhi Abdul Jabar (wafat 1024 M di Ray)

Ia juga hiduo pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al-qudhat) oleh ibnu abad. Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip leh as-Syarif al Murtadha.17 Buku tersebut sedang dalam penerbitandi Kairo dengan nama “al-mughni”.


  • Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M)

Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar, sebuah dusun di negeri Chawarazm(sebelah selatan laut Qaswen), Iran. Sebutan “Jarullah” yang berarti tetngga Allah, dipakainya karena ia lama tinggal di Makkah dan bertempat di sebuah rumah dekat Ka’bah.18


II.3. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu :

  • Ke-Esa-an (at-Tauhid)

  • Keadilan (al-‘Adlu)

  • Janji dan Ancaman (al-Wa’duwal Wa’idu)

  • Tempat diantara dua tempat (al manzilatu bainal manzilataini), dan

  • Menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran (anar ma’ruf nahi munkar)


Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang Mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda-beda pendapat dalam soal-soal kecil (perincian-perincian), ketika memperdalam pembahasan keloma prinsip tersebut dan menganalisanya denagn didasarkan atas pikiran-pikiran filsafat yunani dan lain-lain. Kelima prinsip tersebut akan diuraikan satu persatu, yaitu :


    1. Ke-Esa-an (at-Tauhid)

Tauhid adalah aqidah pokok dan yang pertama dalam Islam. Boleh jadi apa yang menyebabkan mereka mempertahankan Ke-Esa-an itu semurni-murnimya ialah karena mereka menghadapi golongan syiah Rafidah yang ekstrim dan yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim dan bias di indera, di samping golongan-golongan agama dualisme dan trinitas.19

At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dialah yang qadim. Buila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak bermulaan).20

Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan); Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur’am terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.21

Harun nasution mencatat perbedaan antara Al-Jubba’I dan Abu Hasyim atas pernyataan “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Menurut al-Juba’I, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Sungguhpun demikian, mereka sepakat bahawa Tuhan tidak memiliki sifat.22

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah, tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan denagn yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.23

Penolakan terhadap faham antrophomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Untuk menegaskan penilainnya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidak dilakukan semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasan yang lazim digunakan dalam bahasa arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, kata-kata tangan (QS Shad : 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (QS Al-Maidah : 64) dapat diartiakan nikmat. Kata wajah (QS Ar-Rahmah : 27) diartikan sensi dan dzat, sedangkan al-arsy (QS Thaha : 5) diartikan kekuasaan.24

Selanjutnya mereka juga menolak beatific vision, bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Kaum Mu’atzilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam dua golongan :

  • Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah

  • Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi’liah

Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (adl), dan sebagainya. Yang disebut sifat esensi upamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di masa lampau (al-qidam), hidup (al-hayah), kekuasaan (al-qudrah).25

Abu Huzail juga mengatakan, sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan nafy al-sifat.26

Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalatul Islamiyyin mengutip tafsir ke-Esa-an yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut :

Allah, Yang Esa.

Tidak sesuatu yang menyamai Nya,

Bukan jisim (benda),

Bukan pribadi (syachs),

Bukan Jauhar (substance),

Bukan aradh (non essential property),

Tiada berlaku zaman atas-Nya,

Tiada tempat bagi-Nya (hulu),

Pada-Nya tiada sifat makhluk berindikasi non-azali,

Tiada batas bagi-Nya,

Bukan ayah, tiada dilahirkan,

Mustahil di Indera,

Mustahi ada makhluk yang menyamai-Nya,

Tiada terlihat mata-kepala,

Tiada di capai penglihatan,

Mustahil dipikir dan diterka,

Sesuatu, bukan segala sesuatu

Maha Tahu,

Maha Kuasa.

Maha Hidup,

Tetapi,

Bukan seperti orang tahu

Bukan seperti orang yang berkuasa,

Bukan seperti orang yang hidup,

Ia qadim semata,

Tiada yang Qadim selain-Nya,

Tiada Tuhan selain-Nya,

Tiada Pembantu bagi-Nya dalam menciptakan,

Tiada teladan bagi ciptaan-Nya.27


    1. Keadilan (al-‘Adlu)

Semua orang percaya kedilan Tuhan. Tetapi aliran Mu’tazilah, seperti biasanya, memperdalam arti keadilan serta menentukan batas-batasnya, sehingga menimbulkan beberapa persoalan. Mereka mengatakan :

“ Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah Nya dan meninggalkan larangan-larangan Nya, dengan kodrat (kekuasaa) yang dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalamkeburukan-keburukan yang dilarang-Nya”.28

Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini :


  • Perbuatan Manusia

Manusia menurut Mi’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.( mahmud mazruah , ilmu kalam 83 ). Manusia benar-benar bebas untuk meentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akherat merupakan balasan perbuatannya di dunia.29

Abu Huzail mengatakan bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya, dapat dan wajib mengetahui Tuhan, ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk, oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbiuatan buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim.30


  • Berbuat Baik dan Terbaik

Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Mahasempurna.31

Tuhan sebenarnya dapat bertindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian mengandung arti tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang Mahasempurna tidak bias berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifatbaik.32


  • Mengutus Rasul

Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini :

    • Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul mereka.

    • Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia. Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.

    • Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agat tujuan trsebut berhasil, tidak ada jalanlain selain mengutus rasul.33


    1. Janji dan Ancaman (al-Wa’duwal Wa’idu)

Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip Keadilan Tuhan aliran Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala-Nya dan ancaman akan menjatuhkan siksa Nya atas mereka pada hari kiamat, pasyi dilaksanakan-Nya, karena Tuhan sudah mengatakan demikian.

Karena itu mereka mengingkari adanya “Syafa’at” (pengampunan) pada hari kiamat, dengan mengenyampingkan ayat-ayat yang menetapkan syafa’at (baca Al-Baqarah 254 dan 45), karena syafa’at menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman (al wa’du wal wa’di).

Ajaran ketiga ini tidakmemberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali ia tonat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.34


    1. Tempat Diantara Dua Tempat (al manzilatu bainal manzilataini)

Karena prinsip ini, Wasil bin’Ata dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap (yang biasa disebut fasik) melainkan berada dalam suatu tempat di antara dua tempat. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mu’min dan di atas orang kafir.

Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkankedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan , rasulnya dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanaya saja kalau meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka, hanya saja sisaannya lebih ringan dari pada orang kafir.35


    1. Menyuruh Berbuat Kebaikan dan Melarang Segala Kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar)

Prinsip ini banyak pertalian dengan amalan lahir dan bidang fiqih daripada bidang kepercayaan dan ketauhidan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat prinsip ini (baca Al-Imran 104, Luqman 17), prinsip mana harus dijalnkan oleh setiap orang muslim untuk menyiarkan agama dan memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Sejarah pemikiran Islam menunjukkan betapa giatnya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan yang tersebar luas pada masa permulaan masa ‘Abassi yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf nahi dan munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu :

  • Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.

  • Ia mengetahui bahwa kemungkaran telahnyata dilakukan orang

  • Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf nahi dan munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar

  • Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.36

BAB III

PENUTUP


III.1. Kesimpulan

Riwayat tentang asal usul sebutan Mu’tazilah ada tiga, yang kesemuanya berkisar sekitar arti kata-kata I’tazala (memisahkan diri, menjauhkan diri, menyalahi pendapat orang lain).

  1. Disebut mu’tazilah karena Wasil bin’Ata dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (I’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat di antara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut “orang mu’tazilah” (orang yang memisahkan diri – memisahkan diri).

  2. Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murjiah mengatakan bahwa pembuat dosa besar masih termasuk orang mu’min. menurut golongan Khawarij azariqah, ia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang munafik. Datanglah Wasil bin ‘Ata untuk mengatakan bahwa pembuat dosa besar bukan mu’min, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab penyebutan adalah Ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedang menurut riwayat yang pertama sebab penyebutan adalah lahiriyah, yaitu pemisahan phisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).

  3. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang nu’min dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan riwayat-riwayat sebelumnya (kedua) ialah kalau menurut riwayat kedua ke Mu’tazilahan menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang yang sebelumnya, sedang menurut riwayat yang ketiga, ke Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si pembuat dosa itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian (yaitu pembuat dosa besar menyendiri dari orang mu’min dan orang-orang kafir).

Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah Basrah antara lain : Wasil bin ‘Ata, al ‘Allaf, an Nazzham dan al Jubbai. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah Baghdad antara lain Basyr bin al Mu’tamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi abdul Jabar dan az Zamachsyari. Yang semuanya mempunyai pemikiran, yang kebanyakan menjadi doktrin Aliran Mu’tazilah.

Aliran Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu :

  • Ke-Esa-an (at-Tauhid)

  • Keadilan (al-‘Adlu)

  • Janji dan Ancaman (al-Wa’duwal Wa’idu)

  • Tempat diantara dua tempat (al manzilatu bainal manzilataini), dan

  • Menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar)



DAFTAR PUSTAKA


Hanafi, A. 2003. Pengantar Teologi Islam. Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru.

Nasution, Harun. 2007. Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta : UI-Press.

Amin, Ahmad . 1955. Fajrul Islam. An Nadhah al Misriah.

Mahmud, Ahmad. 1969. Fi’ilm al-kalam. Kairo.

Anwar, Rosihon dan Abdul Rozaq. 2007. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka setia.

al-Fachuri, Hanna dan Khalil al-Jarr. 1957. Tarikhul Filsafah al-Arabiyah I. Beirut: Darul Ma’arif.

Amin, A. 1955. Dhuhrul Islam III. An Nasdhah al Misriah.

Hasan, Zuhdi . 1947. Al Mu’tazilah. Maktabah misr.

Al-Badran, 1951. Kitab Al-Milal wa al-Nihal. Kairo.

Mazru’ah, Mahmud . 1991. Tarikh Al-Faruq Al-Islamiyah. Kairo : Dar Al-Manar.

.Houtsma, M.Th. First Encyclopedia of Islam. Jilid VI. Leiden : EJ. Brill.

Syahrastani. al-Milal wa An-Nihal, al-Dar Al-Fikr. Beirut.

Al-Jabbar,Abd. 1965. Syarh al-ushul Al-Khamsah. Kairo : Maktab wahbah.

1 A Hanafi , Pengantar Teologi Islam, Jakarta : PT.Pustaka Al Husna Baru, 2003. hlm. 75.

2 Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta : UI-Press, 2007. hal. 40.

3 A Hanafi, hlm. 76-77.

4 Ahmad Amin, Fajrul Islam, An Nadhah al Misriah, tahun 1955, hlm. 288.

5 Ahmad Mahmud Subhi, Fi’ilm al-kalam, Kairo, 1969, hlm. 75.

6 Harun Nasution, hlm. 42.

7 Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka setia, 2007. hlm. 80.

8Hanna al-Fachuri dan Khalil al-Jarr, Tarikhul Filsafah al-Arabiyah I, Darul Ma’arif Beirut, 1957, hlm. 142 – 143.

9 A. Hanafi, hlm. 83.

10 Ibid.

11 A. Amin, Dhuhrul Islam III, An Nasdhah al Misriah, 1955, hlm. 80-99.

12 A. Hanafi, hlm. 84-85.

13 Zuhdi Hasan, Al Mu’tazilah, Maktabah misr, 1947, hlm. 149.

14 A. Hanafi, hlm. 86.

15 Dhuhrul Islam III, hlm. 141.

16 A. Hanafi,hlm. 87.

17 Dhuhrul Islam III, hlm. 44.

18 A. Hanafi, hlm. 88.

19 A. Hanafi, hlm. 89-90.

20 Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Khamsah, Maktab Wahbah. Kairo, 1965, hlm. 196.

21 Ilmu Kalam, hlm. 81.

22 Harun Nasution, hlm. 135-136.

23 Al-Jabbar, hlm. 217.

24 ibid, hlm. 227.

25 Harun Nasution, hlm. 54

26 Ibid, hlm. 48.

27 Maqalatul-Islamiyyin II, hlm. 216.

28 A. Hanafi, hlm. 93.

29 Ilmu Kalam, hlm. 84.

30 Al-Badran, Kitab Al-Milal wa al-Nihal, Kairo, 1951, hlm. 54.

31 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Faruq Al-Islamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991, hlm. 122.

32 Harun Nasution, hlm. 48.

33 Mazru’ah, hlm. 128.

34 M.Th.Houtsma, et, al. First Encyclopedia of Islam. Jilid VI. EJ. Brill, Leiden, hlm. 792.

35 Syahrastani, al-Milal wa An-Nihal, al-Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 48.

36 Abd Al-Jabbar bin ahmad, Syarh al-ushul Al-Khamsah Maktab wahbah, kairo, 1965, hlm. 142-143.

1 komentar:

funky mengatakan...

saya jadi lebih ngerti mu'tazilah nie n yang paling penting bisa bntu tugas makalah q....hehehe...
thanks yaaa...